Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Hercules di Riau Airlines (2)

Kompas.com - 18/10/2010, 10:17 WIB

KOMPAS.com - Apa sebenarnya yang terjadi pada RAL? Tidak susah untuk mencari penyebabnya. Salah satu contoh kealpaan atau kesengajaan, adalah ketika direksi dan komisaris sepakat membeli tiga pesawat Fokker F 50 seharga Rp 85 miliar. Padahal, di pasar internasional, harga pesawat jenis itu paling banter Rp 20 miliar sampai Rp 25 miliar. Artinya, bila kondisi pesawatnya super bagus, harganya dapat mencapai Rp 25 miliar.

Penggelembungan harga pembelian pesawat itu sempat diributkan beberapa kalangan di Pekanbaru. Hanya saja, berita itu kemudian menguap tidak berbekas.

Faktanya, setelah dibeli, dua dari tiga pesawat itu memang tidak laik terbang. Kalaupun hendak diperbaiki, biayanya sangat mahal dan belum tentu ada bengkel yang mau memperbaiki.

Masalahnya, nyaris tidak ada perusahaan bengkel pesawat di dalam negeri yang mau memperbaiki pesawat RAL. Utang lama saja belum dibayar, bagaimana mungkin menambah utang baru? Utang RAL telah menumpuk dimana-mana. Padahal, onderdil pesawat harus diganti sesuai dengan jam terbang. Wajar apabila RAL terakhir tidak dapat terbang lagi.

Utang RAL saat ini diperkirakan mencapai Rp 200 miliar kepada bank, bengkel pesawat, asuransi dan perusahaan penyewa pesawat. Belum lagi utang kepada karyawan yang belum dibayar gajinya selama dua bulan termasuk tunjangan hari raya. Padahal, sejak berdiri delapan tahun lalu, pemegang saham baru menyuntikkan modal sebesar Rp 157 miliar saja. Artinya, utang RAL jauh lebih banyak dari modalnya.

Dengan modal hanya Rp 157 miliar selama delapan tahun, jelas RAL tidak dibangun dengan sepenuh hati. Angka itu sangat jauh dari cukup untuk membangun sebuah usaha penerbangan sehat. Sekadar gambaran, sebuah pesawat berbaling-baling jenis ATR saja sudah berharga Rp 225 miliar.

Tanpa bekerjasama dengan pihak ketiga, RAL hampir dapat dipastikan bankrut. Mengharapkan modal dari APBD tidak gampang, karena keputusan itu akan melewati pintu politik di 18 DPRD pemegang saham perusahaan. Dengan kondisi yang terus merugi, pemegang saham mana yang mau menambah dana?

Wan Syamsir Yus, Komisaris Utama PT RAL yang juga Sekretaris Daerah Riau menyatakan, krisis keuangan RAL adalah masalah wajar dalam sebuah perusahaan. Meski demikian dia mengakui, masalah RAL memang membutuhkan langkah-langkah penyelamatan sesegera mungkin.

"Kami meminta pemerintah kabupaten dan kota yang memiliki saham di RAL dapat menyelamatkan perusahaan. Provinsi Riau memang pemegang saham terbesar, namun masih ada pemegang saham lain, yakni 18 pemerintah daerah di Riau, Jambi, Sumatra Utara, Lampung, Bengkulu dan Bangka Belitung," ujar Wan.

Boleh-boleh saja Wan mengatakan krisis RAL sebagai masalah umum dan biasa pada perusahaan. Namun, berdasarkan penelusuran Kompas , terlalu banyak tangan yang bermain dalam pengendalian perusahaan itu. Jabatan-jabatan strategis, misalnya, dipegang oleh kerabat dekat pemegang kekuasaan di Riau. Baik itu di jajaran komisaris maupun jabatan direksi. Direktur Keuangan Fizan Noordjaelani dan Direktur Komersial, Revan Menzano adalah kerabat dekat orang berkuasa di Riau.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com