Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BRI, Dari Desa ke Kota

Kompas.com - 18/12/2011, 09:01 WIB
Andreas Maryoto


KOMPAS.com — Perubahan sudah banyak terjadi di BRI. Bank yang satu ini tak lagi dikenal hanya beroperasi di desa. Kini, warga tak jauh dari rumah ataupun pusat bisnis di kota mudah menemukan BRI. Semua ini dilakukan tanpa melupakan bisnis asalnya, yaitu kredit mikro dan desa. Untuk memahami perubahan yang dilakukan BRI selama ini, ”Kompas” mewawancarai Direktur Utama BRI Sofyan Basir di kantor di BRI Tower I, Jakarta.

Jika mendatangi kantor BRI sekarang, Anda akan menemukan pelayanan yang jauh berbeda. Semuanya karena transformasi yang terjadi di BRI.

BRI telah berubah jauh. Apa yang dilakukan selama ini?

Kami menyadari lambat laun produk-produk bank-bank sama, fiturnya juga sudah hampir sama. Untuk itu, pada awal kami dipercaya memimpin BRI pada 2005, kami melihat bagaimana mencoba memanfaatkan dan mengelola BRI yang memiliki 4.200 kantor. Bagaimana kami bisa memanfaatkan kantor-kantor yang sudah ada di daerah.

Akan tetapi, dalam perjalanannya, ternyata ada bank-bank yang merambah ke bisnis kami, yaitu kredit mikro. Ada empat bank yang intensif masuk ke bisnis itu. Wah, kami yang sudah di desa ternyata masih dikejar-kejar juga oleh bank-bank lain. Saat itu, jumlah karyawan sudah 40.000. Ini merupakan potensi yang luar biasa.

Saya memulai dengan transformasi budaya. Saya menekankan kita ini bukan lembaga yang mengelola pegawai negeri sipil, tetapi bank. Kita berbicara industri. Oleh karena industri, kita punya target. Kita punya cita-cita besar ke depan. Angka-angkanya harus jelas. Kalau kita berbicara industri, maka kita imbangi tuntutan industri.

Bisa dijelaskan lebih lanjut soal transformasi itu?

Transformasi budaya kerja diikuti dengan transformasi bisnis. Hal itu mulai dari sumber daya manusia, teknologi informasi, sarana kerja, hingga produk-produk kami. Untuk itu, lalu disusun perencanaan yang matang, terinci, dan diikuti langkah strategis.

Tahun 2005-2006, transformasi itu dimulai. Bank adalah teknologi. Bicara bank, bicara teknologi karena nasabah butuh layanan yang prima. Layanan itu adalah kemudahan akses, kemudahan mendapat informasi, dan mendapat kenyamanan. Pertama, bagaimana meng-online-kan seluruh jaringan BRI dari Sabang sampai Merauke. Kami kemudian berpikir sumber dana kehidupan bank adalah dari pribadi-pribadi, maka sumber dananya yang utama itu ada di perkotaan.

Selama ini, BRI menguasai pedesaan. Kalau teknologi sudah dipenuhi, maka tidak salah kalau kami bisa masuk ke orang kota. Makanya, kami memperluas jangkauan dari desa sampai ke kota. Dulu di Jabodetabek hanya ada 60 kantor, sekarang telah menjadi 700 kantor. Bisa dibayangkan? Dulu di kawasan Rasuna Said, Jakarta, tak akan ketemu BRI, tetapi sekarang ada.

Awalnya kami menyerang 14 kota besar, kini kami menyerang 50 kota besar. Bersamaan dengan itu, kami imbangi dengan teknologi. Kami buka BRI di perkantoran, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lain. Kami bangun juga fitur-fitur yang sekarang telah mencapai 570 fitur produk. Kami imbangi dengan pertumbuhan sumber daya manusia untuk dukung kantor dan untuk dukung bisnis kredit mikro kami. Ada tambahan 45.000 orang dalam lima tahun. Sebagian untuk mendukung kredit usaha rakyat (KUR). KUR pada 2008 awal telah mencapai lima juta debitor KUR dengan kredit Rp 35 triliun atau Rp 7 juta per orang.

Kiat selanjutnya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com