Irma Tambunan
Sebagian besar lahan di Desa Pudak telah menjadi sawah dan kebun sayur. Hasil pertanian merupakan sumber utama penghidupan warga.
Gambaran desa yang hijau ini mungkin berbeda dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Desa terpencil yang berjarak hanya 7 hingga 8 kilometer dari rumah dinas Gubernur Jambi di Kota Jambi ini dulunya merupakan hamparan luas yang ditinggal pemiliknya. Semak belukar menyelimuti lahan rawa itu sehingga menyulitkan petani bertanam. Ketika sawah telah dibuka, banjir kemudian melanda. Sebagian petani putus asa.
Para pemilik kemudian menjual lahannya kepada pendatang atau perantau dengan harga murah, sekitar Rp 2.000 per meter. Mereka selanjutnya mengadu nasib di Kota Jambi, menjadi buruh atau pedagang di Pasar Angso Duo.
Lalu, bagaimana nasib pemilik tanah yang baru?
Sebagian dari mereka membuka lahan menjadi kolam-kolam ikan. Pembukaan kolam cukup signifikan mengatasi banjir. Sejak tahun 2006, banjir besar nyaris tak lagi terjadi.
Sejak itu pula, Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi mencanangkan pemanfaatan lahan menganggur. Selain kolam ikan yang telah dicetak masyarakat, Bupati Burhanuddin Mahir menggagas subsidi penuh bagi petani yang berminat membuka sawah. Anggaran sebesar Rp 5 juta per hektar mengucur untuk pembukaan lahan, pembajakan sawah, serta pembelian benih, pupuk, dan pestisida. Tahun ini, misalnya, dana pemanfaatan lahan menganggur menjadi sawah mengucur Rp 1,5 miliar dari APBD Kabupaten Muaro Jambi.
Pada intinya, pemerintah menanggung seluruh modal untuk petani bersawah, sedangkan petani cukup memakai tenaganya menanam padi, menebar pupuk, menyemprot pestisida, dan memanen seluruh hasil.
Ketua Kelompok Usaha Tani Desa Pudak Wagiman menceritakan, pencetakan sawah baru sangat membantu petani. Untuk menerabas satu hektar semak belukar saja, petani butuh waktu paling cepat dua minggu menggunakan kapak.