Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merebut Pangsa Kartu

Kompas.com - 21/05/2012, 07:14 WIB

KOMPAS.com - Suatu hari pada pekan lalu, Arum Melati, seorang kontraktor papan tengah, hendak membeli arloji berkelas di sebuah toko arloji di Plaza Senayan. ”Berapa harga bersih arloji ini?” tanya Arum sambil mengamati arloji buatan Swiss. ”Murah, hanya Rp 92 juta,” kata pelayan toko.

Arum berusaha menawar. Namun, pegawai toko menyatakan bahwa harga yang ia ajukan adalah harga bersih. Ketika melihat calon pembelinya menghela napas, pelayan toko itu menawarkan solusi. ”Kami punya program pembayaran yang menarik. Kalau Bapak mempunyai kartu kredit tertentu, harga arloji ini bisa dibayar 12 kali, atau Rp 7,6 juta per bulan, tanpa bunga,” kata pegawai itu. Arum langsung tertarik dan membeli arloji tersebut.

Para pembeli yang lain merasakan hal yang sama. Yang terjadi kemudian, transaksi arloji menjadi lebih sering. Seorang pedagang arloji menyatakan, dengan sistem cicil yang ”lunak itu”, penjualan naik sampai mendekati 100 persen dibandingkan dengan sebelum ada program baru itu.

Tentu bukan hanya toko arloji mewah yang menggunakan formula tersebut. Toko-toko elektronik, furnitur, dan para pengembang juga melakukannya. Langkah praktis yang memudahkan pembeli menjangkau produk yang ia kehendaki.

Pengembang dengan kekuatan modal sangat kuat suka menawarkan formula lunak. Misalnya, uang muka Rp 600 juta bisa dicicil hingga setahun, maka konsumen ”hanya” menyetor Rp 50 juta per bulan selama setahun. Ini ”relatif tak masalah” bagi warga yang penghasilannya, sebutlah, Rp 100 juta per bulan. Embel-embel tanpa bunga sama sekali menambah energi untuk berbelanja.

Atau pengusaha furnitur mewah yang menjual sofa sebesar Rp 80 juta per set. Pengusaha ini cukup meminta kartu kredit dari dua bank yang masuk dalam kelompok tiga besar Indonesia. Digesek, dan tiap bulan, konsumen tinggal membayar Rp 6,6 juta. Rasanya ”ringan” bagi yang penghasilannya di atas Rp 50 juta.

Pihak bank pun mempunyai jurus lain untuk memudahkan konsumen. Misalnya, konsumen menggesek kartunya ketika berbelanja sebesar Rp 43 juta. Beberapa hari kemudian, atau bahkan kerap hanya beberapa jam kemudian, pemegang kartu itu sudah ditelepon staf bank yang mengeluarkan kartu. Ia ditanya apakah benar menggunakan kartu itu senilai Rp 43 juta. Ketika dijawab benar, staf bank itu menyebutkan, nilai Rp 43 juta besar juga. Apakah bersedia membaginya menjadi lima kali bayar tanpa bunga. Artinya, selama lima bulan, ia cukup membayar Rp 8,6 juta per bulan. Hampir semua pemegang kartu setuju. mereka malah merasa diuntungkan.

Pertanyaannya, mengapa formula bisnis sekarang seperti ini, apakah tidak merugikan bank atau para pedagang?

CEO Bank Central Asia Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, formula ini memang sangat menarik. Para penjual atau pedagang barang mahal bersedia melakukannya karena mereka ingin terjadi lebih banyak transaksi. Naiknya transaksi, berarti naiknya omzet. Reputasi dan kinerja pun lebih cemerlang.

Adapun pihak perbankan sama sekali tidak dirugikan sebab bank memperoleh persentase atraktif dari pedagang. Lagi pula, tambah Jahja, dengan makin banyaknya konsumen menggesek dengan kartu BCA, misalnya, volume penggunaan kartu BCA makin banyak. Awareness pun akan jauh lebih baik. Pada gilirannya akan mempunyai peran sendiri bagi kinerja sebuah bank. (Abun Sanda)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com