Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Perlu Ruang Naikkan Harga BBM

Kompas.com - 02/07/2012, 08:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak merupakan keniscayaan karena harga minyak dunia yang serba tidak pasti. Oleh karena itu, pemerintah perlu memiliki ruang kebijakan yang cukup untuk menaikkan harga bahan bakar minyak.

”Mestinya pemerintah punya ruang untuk memutuskan. Jadi, kalau toh ada rambu-rambu boleh menaikkan, kalau kondisinya apa,” ujar ekonom Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko, Minggu (1/7/2012). Ia dimintai pendapat soal uji materi atas Undang-Undang (UU) APBN Perubahan 2012 yang diajukan Koalisi APBN untuk Kesejahteraan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Prasetyantoko menjelaskan, ada dua hal dalam masalah ini. Pertama, siapa pun pemerintahnya harus diberi ruang untuk menghadapi ketidakpastian. Dalam masalah ini, ketidakpastian soal kenaikan harga bahan bakar. Kedua, kebijakan pemerintah harus meyakinkan bahwa kenaikan harga adalah sebuah pilihan terakhir.

Ia mengatakan, kemungkinan kenaikan harga merupakan sebuah keniscayaan karena yang namanya minyak di pasaran dunia serba tidak pasti. ”Kalau dipaksakan tidak boleh naik, agak aneh juga,” lanjutnya.

Sementara itu, Koalisi APBN untuk Kesejahteraan meminta MK membatalkan ketentuan di dalam UU APBN 2012 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM jika harga minyak bumi naik setidaknya 15 persen dari harga yang diasumsikan di APBN dalam jangka waktu enam bulan terakhir. Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Koalisi APBN yang terdiri atas tujuh organisasi itu meminta MK membatalkan Pasal 7 Ayat (6a) UU Nomor 4 Tahun 2012.

Hal itu terungkap dalam sidang perdana uji materi atas UU APBN yang diajukan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), serta Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Kuasa hukum pemohon, Janses E Sihalolo, mempersoalkan proses pembahasan Pasal 7 Ayat (6a) yang tidak memenuhi prinsip keterbukaan. (ANA/WER)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com