Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Pangan Indonesia Salah?

Kompas.com - 11/10/2012, 10:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pangan Indonesia mendapat kritikan pedas. Adalah Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) yang menilai kebijakan ketahanan pangan Indonesia salah arah. Akibatnya, meski angka kemiskinan menurun, jumlah penduduk yang kekurangan gizi masih cukup besar.

Penilaian ini berdasarkan hasil kajian kebijakan pertanian Indonesia alias review of agricultural policies Indonesia yang dirilis OECD, kemarin. Ken Ash, Direktur Perdagangan dan Pertanian OECD, mengatakan, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan komoditas lain yang bernilai tinggi, seperti tanaman buah, sayuran, dan tanaman perkebunan. "Komoditas ini bisa meningkatkan penghasilan dan akses pangan bagi banyak rumah tangga tani," katanya, Rabu (10/10/2012).

Maka dari itu, OECD menyarankan Indonesia segera meninggalkan arah pencapaian swasembada karena membutuhkan dana besar, seperti untuk subdisi pupuk serta perlindungan pasar impor dan ekspor. Padahal, komoditas pangan yang dikembangkan untuk mencapai swasembada justru tidak berdaya saing tinggi.  

"Proteksi terhadap impor produk pertanian juga menghambat daya saing sektor pertanian, membatasi laju produktivitas pertanian, dan membebani biaya pangan bagi rakyat miskin," papar Ken.

Selain itu, OECD menyebut, pertanian Indonesia terkena dampak negatif dari penanaman modal yang rendah. Akan tetapi, rendahnya penanaman modal bisa diatasi dengan mempercepat registrasi lahan dan menyederhanakan sistem kepemilikan lahan.

Jadi pertimbangan
OECD juga mencatat, selama periode 2006-2010, dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian rata-rata hanya 9 persen dari total nilai produksi yang diterima petani. "Untuk itu, kami usulkan agar dilakukan reformasi yang bisa memperbaiki efisiensi bagi petani," terang Ken.

Tahlim Sudaryanto, Staf Ahli Menteri Pertanian bidang Kerja Sama Internasional, merespons positif hasil kajian OECD itu. Rekomendasi OECD itu akan menjadi pertimbangan pemerintah untuk perbaikan. Akan tetapi, penilaian dan saran dari OECD ini tidak bisa serta-merta mengubah kebijakan pangan nasional secara cepat. Pemerintah akan menggunakannya sebagai kajian kebijakan jangka panjang.

Sutrisno Iwantono, Ketua  Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), mengatakan, penilaian OECD bahwa kebijakan pertanian kita salah arah tidak sepenuhnya benar. HKTI menilai, OECD adalah lembaga dari negara maju yang memiliki kepentingan atas Indonesia. "Pemerintah harus bisa memilah rekomendasi mana yang baik dan tidak bagi Indonesia," ujarnya. (Fahriyadi/Kontan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com