Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Harga BBM

Kompas.com - 02/05/2013, 02:28 WIB

Ainul Huda

Kebijakan BBM bersubsidi di Indonesia akan memasuki fase baru jika dua harga BBM bersubsidi diberlakukan: Rp 4.500 untuk angkutan umum dan sepeda motor, serta Rp 6.500-Rp 7.000 untuk mobil pribadi.

Pilihan kebijakan dua harga ini muncul di tengah kebingungan pemerintah memilih antara tetap mempertahankan harga BBM bersubsidi serta risiko fiskal yang makin besar dan memberlakukan dua harga BBM dengan harapan meminimalkan dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat dibandingkan dengan jika harga BBM bersubsidi seluruhnya dinaikkan. Tentu kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara menyeluruh tidak populis secara politik, apalagi pemilu akan dilangsungkan tahun depan.

Risiko dua harga

Secara umum, selama substitusi BBM tidak tersedia, harga BBM bersubsidi cenderung inelastis dalam jangka pendek. Artinya, dampak penurunan konsumsi BBM sebagai respons atas kenaikan harga relatif tidak sig- nifikan.

Dalam jangka panjang, dengan syarat moda transportasi publik yang memadai dan bahan alternatif BBM sudah tersedia, kenaikan harga akan menyebabkan penurunan konsumsi secara signifikan. Keberadaan substitusi BBM akan memengaruhi keputusan konsumen, misalnya pada cara berkendara dengan mengurangi perjalanan mobil pribadi dan lebih banyak menggunakan angkutan publik atau menggunakan alternatif BBM seperti gas dan listrik.

Dalam literatur ekonomi, penerapan diskriminasi dua harga BBM akan berhasil jika memenuhi dua prasyarat berikut. Pertama, terdapat perbedaan permintaan BBM bersubsidi di antara (kelompok) konsumen. Dalam hal ini, pengetahuan tentang elastisitas permintaan BBM antara kelompok konsumen kendaraan umum serta sepeda motor dan pemilik mobil pribadi menjadi penting.

Secara umum, pemilik mobil pribadi merupakan kelompok dengan tingkat pendapatan menengah-atas. Dalam hal berkendara dan seiring dengan kenaikan pendapatan, kelompok ini dipandang lebih sensitif terhadap aspek selain harga, seperti kenyamanan. Karena itu, bisa dikatakan, permintaan BBM bersubsidi bagi pemilik mobil pribadi akan cenderung inelastis terhadap harga. Artinya, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi pada kelompok ini relatif kecil sehingga tidak akan memicu penurunan konsumsi yang signifikan.

Identifikasi konsumen BBM bersubsidi berdasarkan kategori apakah mobil pribadi atau bukan tentu bukan hal sulit. Becermin pada kondisi ini, potensi keberhasilan kebijakan diskriminasi harga cukup besar. Namun, hal ini sangat bergantung pada aspek nonteknis lain, seperti ketegasan petugas di lapangan untuk tidak melayani pembelian BBM bersubsidi bagi mobil pribadi.

Kedua, diskriminasi harga akan berhasil selama upaya menjual kembali BBM bersubsidi kepada pemilik mobil pribadi dapat dicegah. Jika BBM yang dibeli de- ngan harga Rp 4.500 bisa dijual kepada pemilik mobil pribadi atau industri dengan harga Rp 6.500-Rp 7.000 atau minimal lebih besar dari harga subsidi, penerapan dua harga justru akan menimbulkan ”pasar gelap” BBM bersubsidi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com