Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Properti Indonesia

Kompas.com - 03/05/2013, 17:05 WIB

Oleh Karim Raslan

KOMPAS.com — Properti adalah tentang lokasi, lokasi, dan lokasi. Dulu, ketika seseorang bicara tentang "properti Indonesia", terutama tentang perumahan, yang teringat langsung adalah kawasan Menteng, Kebayoran Baru, dan Pondok Indah, Jakarta. Akan tetapi, setelah terjadi ledakan konsumen di seluruh republik ini, harga properti juga mengalami peningkatan di kota-kota sekunder, seperti Bandung, Medan, dan Surabaya.

Sebagai pendorong utama daerah-daerah lain, saya senang melihat kemakmurannya juga memberi keuntungan bagi tiga kota itu. Tentu saja, saya percaya bahwa banyak investasi di masa depan akan berlangsung di kota-kota tersebut dengan kebijakan dan pendirian yang lebih probisnis.

Ini bukan kebetulan, jika harga properti di Bandung naik 10 persen per tahun dari 2008 hingga 2012. Di Medan terjadi peningkatan 15 persen-20 persen per tahun selama 2010-2012, dan 20 persen di Surabaya pada periode yang sama.

Di Bandung, saat ini sulit untuk mendapatkan properti dengan harga di bawah Rp 100 juta. Hal ini dipengaruhi oleh lokasinya yang strategis, dekat dengan Jakarta. Lokasi paling banyak diminati di Bandung yaitu wilayah Dago di bagian utara Bandung.

Rumah-rumah di Dago banyak yang berciri gaya klasik dan beberapa di antaranya memiliki luas 1.500 m2. Sebuah rumah klasik di sana bisa seharga Rp 45,5 miliar. Wilayah yang lebih baru di selatan Kota Bandung, terutama di sekitar Soekarno-Hatta, harganya bisa mencapai antara Rp 1,8 miliar hingga Rp 5 miliar. Di sisi lain, sebuah perumahan di tengah Bandung, sebut saja Antapani atau Arcamanik, dijual dengan harga antara Rp 300 juta hingga Rp 2 miliar.

Medan, kota yang memiliki upah minimum terbesar di Sumatera Utara (Rp 1,65 juta), juga mengalami ledakan properti, yang didukung oleh kredit yang mudah dan peningkatan populasi begitu cepat, hampir 50.000 orang per tahun. Di Medan, lokasi terbaik terletak di dekat Bandara Polonia, seperti di Polonia Medan, yang harganya bervariasi mulai dari Rp 3 miliar.

Memang, ada tempat di sekitar pengembangan Villa Polonia yang bisa dijual dengan harga Rp 14 miliar per unit. Ini bukan berarti perumahan di Medan tidak terjangkau. Rumah-rumah kecil di tengah Kota Medan sendiri bisa dijual pada kisaran harga Rp 350 juta.

Tidak mau kalah dengan Bandung dan Medan, Surabaya, terutama di sebelah barat, terlihat ledakan properti elite, seperti Kompleks Bukit Golf Surabaya yang sering disebut "Singapore of Surabaya". Di kawasan ini rentang harganya Rp 2,5 miliar hingga Rp 28 miliar, tergantung luas dan ukuran.

Juga, yang menarik adalah kawasan Margorejo Indah di Surabaya bagian selatan, lokasi favorit pencari properti. Harga properti di sini antara Rp 1 miliar-Rp 5 miliar, walaupun beberapa unit harganya bisa mencapai setinggi Rp 30 miliar. Adapun yang lebih terjangkau adalah kawasan Wonokromo (Rp 300 juta hingga Rp 500 juta) dan kawasan Gayungan (Rp 800 juta hingga Rp 1,5 miliar).

Pindah ke kota sekunder

Ini benar-benar terjadi di Indonesia. Seperti saya sebutkan sebelumnya, Bandung adalah prospek sangat menarik karena kedekatan lokasinya dengan Jakarta. Memang, ketika Ibu Kota menjadi padat, tidak dapat dihindari, bisnis dan sumber daya manusia secara bertahap akan pindah ke kota sekunder seperti Bandung. Dan, harga propertinya menunjukkan gejala ini.

Lebih lanjut, penempatan lingkungan elite menunjukkan pentingnya infrastruktur yang baik. Tiga kota sekunder yang disebutkan di atas merupakan tempat bagi universitas-universitas terkemuka, seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya.

Jadi, sepertinya, jika semua tempat bagus di Jakarta sudah habis, hal pintar yang harus dilakukan adalah keluar dari Ibu Kota dan menuju provinsi lainnya. Namun, ada juga sisi negatifnya, yaitu hanya menunggu waktu sebelum harga rumah yang mahal berubah menjadi industri properti yang mahal seperti kejadian di Singapura. Ini akan mendorong kegiatan bisnis, sekaligus menarik pekerja lebih mahal. Dan, ketika kota-kota sekunder menjadi semahal Jakarta, mereka akan kehilangan keunggulan.

Ini seperti kejadian di Singapura yang harga perumahannya meroket tinggi, kemudian menyebabkan dislokasi sosial-politik dan ketidakbahagiaan. Kota-kota di Indonesia berkembang dengan baik. Seharusnya perkembangannya tidak membebani kelompok "tidak punya" atau yang mempunyai sedikit biaya.

(Penulis adalah seorang pengamat Asia Tenggara, pendiri sekaligus CEO KRA Group)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com