Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rhenald Kasali
Guru Besar Manajemen

Akademisi dan praktisi bisnis yang juga guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sejumlah buku telah dituliskannya antara lain Sembilan Fenomena Bisnis (1997), Change! (2005), Recode Your Change DNA (2007), Disruptions, Tommorow Is Today, Self Disruption dan The Great Shifting. Atas buku-buku yang ditulisnya, Rhenald Kasali mendapat penghargaan Writer of The Year 2018 dari Ikapi

Pertarungan Business Model, Bukan Antarmerk atau Antarbangsa

Kompas.com - 20/05/2017, 07:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Saya agak terkekeh-kekeh mendengar cara seorang-- maaf, kebetulan sudah agak tua -- dalam memahami slide yang tercecer dari materi pelatihan yang saya berikan. Slide itu berisi dua gambar. Satu adalah gambar pedangdut legendaris Rhoma Irama dan di sebelahnya ada Ratu ngebor yang pernah top pada awal tahun 2000. Keduanya pernah heboh bertengkar membuat ramai pemberitaan.

Membaca slide itu, kebetulan ia datang sehari setelah saya bicara, ia pun mulai melantur: “Bisnis kita tidak ada hubungannya dengan dangdut!”

Ia tentu benar. Siapa yang bilang bisnisnya terkait dengan dangdut? Namun belakangan saya agak paham, maaf, sudah terlalu banyak orang yang seperti ini. Sensitif, dan ujug-ujug.
Akibatnya: Mereka kesulitan membaca fenomena-fenomena baru. Semua hal baru ditafsirkan “as it is,” dengan kacamata lama.

Faktanya, kedua gambar itu hanyalah sebuah ilustrasi yang menggambarkan tentang pertarungan business model. Bahkan menurut saya, Indonesia beruntung, pernah diberi contoh yang begitu gamblang untuk memahami perubahan yang kini kita sebut sebagai disruption.

Apakah itu model pertarungan dalam industri entertain (royalti vs hiburan), pelayanan kesehatan, transportasi, pendidikan, retail, teknologi ruang angkasa, otomotif maupun energi.

Ya, kita sudah dibukakan mata untuk belajar jauh sebelum digital disruption menjadi fenomena besar yang mampu menggulung perusahaan-perusahaan besar, bahkan bangsa-bangsa besar. Untuk mudahnya saya ajak anda menyimak disruption dalan sektor energy melalui business model yang mengakibatkan harga migas dunia jungkir balik.

Bukan Sekadar Shale Oil

Belakangan ini kita dikejutkan oleh kedatangan Raja Salman dari Saudi ke negri ini. Bagi saya, kunjungan itu sebenarnya juga merupakan simbol dari pertempuran business model.
Anda tahu bukan, bahwa bersama 12 negara anggota OPEC lainnya di masa lalu, Saudi telah menjadi penentu harga minyak dunia.

Dengan membatasi produksi dan kesempatan menetapkan harga, sejak awal abad 20 Saudi dan negara-negara OPEC menikmati harga minyak yang aduhai. Di awal abad 21 saat populasi meledak bertambah satu miliar jiwa untuk setiap 10-12 tahun, harga Minyak mentah pun bergerak naik dari sekitar USD 50 (2004) menjadi USD 120.

Ini benar-benar amat memusingkan presiden SBY yang pro subsidi karena subsidi telah menggerus segala kemampuan pemerintah untuk mengembangkan sektor-sektor lainnya.
Tetapi syukurlah keperkasaan negara-negara anggota OPEC itu hanya bisa bertahan hingga tahun 2013-2014.

Kekuatan membentuk harga itu tiba-tiba rontok, dengan hadirnya tiga kekuatan baru: Rusia, Amerika Serikat dan China. Rusia menjadi pemasok migas yang sama besarnya dengan negara-negara OPEC dan terus meningkatkan produksinya membanjiri pasar migas dunia.

Rusia menjadi pengacau bagi OPEC dan Saudi.

Amerika sendiri memilih untuk membuka keran produksi dari teknologi fracking yang selama ini dilarang karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Teknologi fracking inilah yang menghasilkan shale gas dan shale oil.

Pasokan berlebih dari dua negara raksasa itu saja sudah cukup mengguncang dunia, sehingga perlahan-lahan harga minyak dunia turun kembali ke bawah USD 100, bahkan hingga menyentuh USD 50 saat ini.

Tetapi yang membuat harga minyak mentah itu turun bukan hanya itu. Ada Negara lain yang bertarung dengan business model lain. Dan Negara itu bukanlah negri produsen, melainkan konsumen terbesar:

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com