Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Usaha Garam Rakyat dan Persoalan yang Membelitnya

Kompas.com - 14/08/2017, 09:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorMuhammad Fajar Marta

Dalam beberapa bulan terakhir, harga garam melonjak tinggi hingga mencapai Rp 2.000 per kg di tingkat petambak. Padahal biasanya, harga garam di tingkat petambak sangat rendah, bahkan bisa hanya Rp 400 per kg saat musim panen. 

Petambak garam jelas menangguk untung besar saat ini. Keuntungan itu bisa mereka pakai untuk meningkatkan taraf hidup mereka. 

Mengapa harga garam melonjak tinggi? Sekurangnya ada dua faktor utama yang menjadi penyebabnya.

Pertama, anjloknya pasokan garam akibat musim kemarau basah (La Nina) yang terjadi sepanjang tahun 2016.

La Nina menyebabkan curah hujan di sentra-sentra produksi garam cukup tinggi sehingga produksi garam pun terganggu.

Akibat La Nina, produksi garam nasional pada tahun 2016  sebesar 160.000 ton, atau hanya  5,33 persen dari target produksi sebesar 3 juta ton. Timpangnya pasokan dan permintaan akhirnya memicu lonjakan harga. 

Faktor kedua adalah keinginan kuat dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk melindungi petambak rakyat yang selama ini tak berdaya menentukan nasibnya sendiri.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, sudah berpuluh-puluh tahun, industri garam domestik dikendalikan perusahaan-perusahaan besar yang membentuk semacam kartel. Merekalah yang menentukan harga garam petambak.

Menurut Menteri Susi, saat panen garam di Indonesia, kartel justru mengimpor garam. Mereka mengimpor jenis garam industri, yang kebetulan memang tidak diproduksi di dalam negeri. 

Garam industri impor tersebut seharusnya hanya ditujukan untuk industri aneka pangan, yang meliputi antara lain pabrik obat, pabrik kecap, pengasinan ikan, asinan buah,  bumbu makanan R]ringan, bumbu mie instan, minuman kesehatan, soda Kkostik, pabrik es, dan pembuatan keju.

Namun faktanya garam industri yang diimpor  itu tidak sepenuhnya digunakan untuk kepentingan industri aneka pangan, namun sebagian sengaja dijual ke pasar sebagai garam konsumsi atau garam dapur (bumbu masak).

Padahal kebutuhan garam konsumsi seharusnya diambil dari garam yang diproduksi petambak garam.

Praktik ilegal itu dilakukan karena garam industri untuk aneka pangan memiliki kandungan yang tak jauh berbeda dengan jenis garam konsumsi sehingga bisa dikonsumsi langsung oleh manusia.

Selain itu, harga garam industri impor cukup bersaing karena importasinya tidak dikenakan bea masuk.

Masuknya garam impor menyebabkan pasokan garam di pasar makin berlimpah. Harga garam pun terjun bebas hingga menyentuh angka Rp 400 per kg. Petambak terpaksa jual rugi.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com