Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Top Up Uang Elektronik Berbenturan dengan Gerakan Nontunai

Kompas.com - 20/09/2017, 18:47 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pengenaan biaya pengisian ulang (top up) uang elektronik memunculkan beragam polemik di tengah-tengah masyarakat.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memandang, pengenaan biaya top up uang elektronik berbenturan dengan program pemerintah yang ingin mendorong gerakan nontunai.

Langkah Bank Indonesia (BI) yang akan mengatur biaya top up uang elektronik tersebut dinilai kurang tepat untuk dilakukan saat ini.

Peneliti INDEF Bhima Yudhistira menyatakan, kebijakan BI yang berbarengan dengan pelaksanaan elektronifikasi pembayaran jalan tol kontradiktif.

"Di satu sisi menyuruh masyarakat memakai e-money (uang elektronik) dan mendorong gerakan non tunai tapi justru dikenakan pungutan (biaya). Ini disinsentif bagi nasabah, khususnya masyarakat pengguna jasa transportasi umum dan tol," kata Bhima dalam keterangannya, Rabu (20/9/2017).

Ketika dikenakan biaya isi ulang elektronik, imbuh Bhima, dikhawatirkan masyarakat akan kembali menggunakan uang tunai dalam bertransaksi.

Hal ini dipandang menjadi kemunduran. Bhima juga menyayangkan bank sebagai penyedia kartu uang elektronik, di mana dalam bisnis uang elektronik sebetulnya bank sudah mendapat untung tanpa harus ada pengenaan biaya isi ulang.

"Misalnya dari awal kan masyarakat sudah bayar kartu emoney. Beli perdana Rp 50.000 dapat saldo Rp 30.000, harga kartu Rp 20 Uang hasil penjualan kartu sebenarnya tercatat sebagai fee based income bank. Harusnya dengan keuntungan dari penjualan kartu perdana e-money tidak perlu lagi memungut biaya top up karena dinilai memberatkan konsumen," jelas Bhima.

Ia memberi contoh di Hong Kong yang menggunakan octopus card. Untuk biaya perawatan mesin EDC dan investasi infrastruktur ditanggung perusahaan penerbit kartu dan operator jasa transportasi publik.

Dengan sharing cost tersebut, konsumen bisa dapat potongan harga dan insentif ini membuat 95 persen penduduk Hongkong menggunakan Octopus card.

"Dalam konteks Indonesia, sharing cost ini bisa dilakukan antara bank penerbit kartu, jasa penyelenggara jalan tol dan merchant penyedia top up. Jadi kalau kebijakan tarif ini tetap dilakukan, masyarakat kembali lagi pakai uang cash. Kecuali di tol karena terpaksa," tegasnya.  

Sebelumnya, Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) menyatakan berdasarkan arahan Menteri BUMN Rini Soemarno, bank-bank BUMN memutuskan untuk tidak mengenakan biaya isi ulang uang elektronik.

Ketua Himbara Maryono mengatakan, langkah ini diambil untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka lebih mencitai sistem cashless di Indonesia. 

Karena jika saat awal sudah langsung dikenakan tarif, maka animo dan simpati masyarakat terhadap sistem pembayaran nontunai di dalam negeri menjadi tidak maksimal.

"Ini atas dasar dalam rangka awal kami menciptakan sistem pembayaran cashless. Dan untuk sosialisasi ke masyarakat juga sebenarnya sehingga mereka cinta kepada sistem pembayaran cashless," ujar Maryono.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyatakan, besaran biaya suatu produk keuangan sebaiknya penetapannya diserahkan ke industri dalam menentukannya.

"Kalau soal fee dan sebagainya ini adalah keputusan bagaimana industri untuk memberikan jasa itu. Fee ini biarin keputusan industri," kata Wimboh.

Ia juga menyatakan bahwa harus dipastikan masyarakat tidak dirugikan dengan penetapan biaya tersebut. Menurut Wimboh kepentingan masyarakat tetap menjadi prioritas utama. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com