Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Wahai Ditjen Pajak, Begini Tips Memata-matai Orang Kaya Kekinian

Kompas.com - 25/09/2017, 06:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Imbauan Ditjen Pajak agar masyarakat memasukkan smartphone ke dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak memunculkan beragam reaksi dari masyarakat. Bahkan mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, Rizal Ramli ikut bercuap-cuap.

Bagi Ditjen Pajak, memasukkan smartphone dalam SPT pajak memiliki alasan tersendiri. Dengan melaporkannya ke SPT pajak, bisa diketahui sinkronisasi antara besarnya penghasilan dengan penambahan harta wajib pajak.

(Baca: Punya Smartphone Harus Dilaporkan di SPT, Ini Penjelasan Ditjen Pajak)

Sementara itu, masyarakat dan para pemilik smartphone menganggap aturan itu dibuat-buat. Bahkan Rizal Ramli menuding kebijakan tersebut merupakan bentuk kepanikan otoritas pajak yang terbebani oleh target tinggi.

Terlepas dari perdebatan tersebut, Ditjen Pajak memang mengangap smartphone sebagai indikator naiknya kekayaan atau aset seseorang. Hal ini semakin ditegaskan oleh admin medsos Ditjen Pajak yang mengingatkan para pemilik iPhone X  untuk melaporkan gadget itu dalam SPT pajak.

Saya tidak bermaksud berdebat mengenai peraturan soal hal ini, karena aturan sudah cukup jelas.

Namun pertanyaannya, apakah masih relevan menilai smartphone menjadi indikator bertambahnya kekayaan wajib pajak sehingga harus dilaporkan dalam SPT pajak?

Orang Kaya Kekinian

Tahun 1899, sosiolog AS Thorstein Veblen memublikasikan buku yang berjudul The Theory of the Leisure Class. Dalam buku tersebut, Veblen memotret kondisi sosial orang-orang berduit di AS seputar bagaimana mereka membelanjakan uangnya.

Pada buku itu, Veblen menyatakan bahwa industri telah membagi masyarakat menjadi dua bagian. Pertama adalah karyawan dan kedua adalah pemilik modal.

Pemilik modal adalah mereka yang memiliki uang berlimpah dan waktu luang yang banyak. Mereka tak memiliki kewajiban untuk bekerja setiap saat, karena semua pekerjaan dilakukan oleh karyawannya.

Lainnya, para pemilik harta itu juga gemar mengenakan barang-barang mahal. Veblen menggunakan istilah conspicuous consumption atau “konsumsi terang-terangan” untuk menggambarkan kebiasaan para pemilik modal di AS pada waktu itu.

Terminologi itu merujuk pada tren bahwa orang berduit di AS di akhir abad ke-19 cenderung membeli barang-barang yang mencolok untuk memamerkan status sosial mereka.

Dengan barang-barang tersebut, orang kaya di AS saat itu ingin menyampaikan pesan bahwa mereka adalah kelompok elit. Status mereka berbeda dengan kebanyakan orang yang hanya sebagai karyawan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com