Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Perhimpunan Pelajar Indonesia
PPI

Perhimpunan Pelajar Indonesia (www.ppidunia.org)

Bandara Internasional di Setiap Provinsi, Keuntungan atau Ancaman?

Kompas.com - 17/10/2017, 18:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

BERDASARKAN data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (2017), saat ini jumlah total bandara di Indonesia sekitar 296 bandar udara.

Dari jumlah tersebut, yang berstatus bandara internasional ada 27 tempat dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Jumlah itu dapat dikatakan terlalu banyak. Perlu ada evaluasi dari keberadaan bandara-bandara tersebut. Kenapa?

Keberadaan bandara-bandara internasional mempunyai dua sisi mata uang yang bertolak belakang.

Dari sisi pariwisata dan pemerintah daerah, keberadaannya dirasa menguntungkan karena para wisatawan mancanegara bisa langsung menuju obyek wisata. Penduduk daerah tersebut juga bisa langsung terkoneksi dengan luar negeri, tanpa melewati kota lain.

Namun, dari sisi bisnis penerbangan dan pertahanan nasional, hal ini justru mengkhawatirkan. Kebanyakan yang menangguk keuntungan itu maskapai asing karena mereka yang menggunakannya.

Perlu kita ketahui bersama bahwa banyaknya bandara internasional akan berakibat pada meningkatnya penerbangan langsung dari dan ke luar negeri dari bandara-bandara tersebut.

Penerbangan langsung ke kota-kota di Indonesia hampir dapat dipastikan dari Singapura, Kuala Lumpur, dan Johor, serta penerbangan lintas batas seperti Pontianak-Kuching, Pekanbaru-Melaka, Medan-Penang, dan sebagainya.

Dengan adanya penerbangan langsung tersebut, tidak diperlukan lagi perjalanan dari dan ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang.

Dengan kata lain, pada masa mendatang, kemungkinan besar Kuala Lumpur dan Singapura-lah yang akan menjadi pintu gerbang ke wilayah Republik Indonesia melalui transportasi udara.

Hal itu mengingat jaringan hub and spoke transportasi udara di kawasan ASEAN saat ini sudah dipegang oleh Bandara KLIA, Kuala Lumpur, dan Bandara Udara Changi, Singapura.

Adanya aliansi antar airlines, misalnya Star Alliance antara Singapore Airlines, North West, Qantas, British Air, juga akan menambah load factor pada rute dari Singapura ke kota-kota di Indonesia.

Dalam penerbangan regional antarbenua dengan pesawat besar, penumpang bisa berhenti di Singapura dan melanjutkan penerbangan ke kota-kota di Indonesia.

Jika penumpang dari luar negeri (Eropa, Amerika, dan sebagainya) akan ke Indonesia, penumpang tersebut bisa ke Kuala Lumpur atau Singapura baru melanjutkan perjalanan ke Indonesia.

Sebagai contoh, bagaimanakah dengan Bandara Internasional Juanda serta beberapa bandara lainnya di wilayah Jawa?

Fenomena yang menarik yang digambarkan Haryoto (2002) dalam bukunya yang berjudul "Transportasi Pro Rakyat", misalnya Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Adi Sumarmo Solo, Bandara Ahmad Yani Semarang.

Ketiganya adalah bandar udara internasional dengan beda jarak kurang dari 100 mil. Bandara-bandara tersebut diterbangi dari dan ke Singapura.

Itu sama saja menempatkan Singapura sebagai pintu gerbang Indonesia dan tidak ada efisiensi dalam perencanaan antara moda darat dan udara.

Masing-masing kota memiliki hubungan internasional sendiri sehingga akan mengakibatkan berkurangnya semangat negara kesatuan.

Alangkah baiknya jika di antara tiga kota yang berdekatan tersebut, cukup satu bandara internasional, sementara dua bandara lainnya dihubungkan dengan jalan KA atau jalan tol, misalnya bandara di Yogyakarta saja yang sudah dilengkapi stasiun KA.

Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah di setiap provinsi. Sebagai contoh, di Jawa Timur sudah ada Bandara Internasional Juanda di Surabaya.

Mengapa tidak dibangun saja moda transportasi terintegrasi layaknya MRT di Singapura yang menghubungkan ke daerah sekitarnya, terutama Malang, Jember, atau Banyuwangi?

Mungkin bandara-bandara tersebut akan lebih efisien jika tetap diprioritaskan untuk penerbangan domestik, mendukung penerbangan domestik di Bandara Internasional Juanda yang katanya hampir overload.

Apabila nantinya bandara udara dikelola oleh beberapa pihak pun akan terjadi persaingan dan bisa dipastikan akan terjadi kompetisi antarbandara.

Ini adalah suatu hal yang baru. Maskapai penerbangan memang memerlukan bandar udara, tetapi yang mana?

Contohnya seperti ini. Pihak A membangun dan mengelola bandar udara di dekat Surabaya, yang kemudian berkompetisi dengan Bandara Juanda.

Dampak positif dari kompetisi tersebut adalah adanya peningkatan pelayanan dan kapasitas. Kedua bandara tersebut juga dapat saling menggantikan jika ada kegagalan operasi pada satu bandar udara. Kompetisi itu akan menurunkan tarif pelayanan bandar udara.

Namun demikian, ada pula dampak negatif dari kompetisi tersebut. Bisa saja terjadi kelebihan kapasitas jika bandara tersebut dibangun dengan kapasitas besar.

Dampak lainnya, kedua bandara tersebut tidak hanya bersaing, tetapi dua-duanya akan menjadi spoke dan Bandar Udara Changi sebagai hub-nya. Kondisi itu juga akan mempersulit penyusunan sistem jaringan antarmoda darat dan udara.

Pelaksanaan otonomi daerah yang disertai euforia pemerintah daerah karena memiliki kewenangan lebih, pada dasarnya telah memengaruhi rasa kesatuan wilayah. Hal itu terlihat dalam sistem transportasi udara, termasuk bandar udara.

Keinginan pemerintah daerah untuk menjadikan bandar udara di wilayahnya sebagai bandar udara internasional pada hakikatnya telah mengurangi rute udara domestik. Pengurangan hubungan domestik tentu akan mengurangi kesatuan wilayah.

Jika Indonesia tidak segera menetapkan dan membangun infrastruktur yang besar dan modern untuk pelabuhan laut dan bandara di Indonesia, maka port di negara tetangga akan menjadi hub dan bahkan pintu gerbang bagi Indonesia. Dalam bidang transportasi, daerah akan lebih tergantung kepada Singapura daripada kepada Jakarta.

Ironinya, isu penjualan bandara dan pelabuhan milik badan usaha milik negara ke swasta kembali muncul. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, upaya itu bagus untuk pengurangan alokasi APBN yang digunakan untuk mengelola bandara dan pelabuhan selama ini.

Menurut Budi, jika pengelolaan bandara diberikan kepada swasta maka pemerintah justru akan memperoleh penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, ia tak menjelaskan berapa potensi PNBP yang akan diterima.

"Kita juga akan menswastakan 10 bandara dan 20 pelabuhan untuk diberikan kepada swasta supaya bandara dan pelabuhan yang 30 ini jangan makan APBN lagi," kata Budi di Red Top Hotel Pecenongan, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017).

(Baca Kemenhub akan Serahkan Pengelolaan 20 Pelabuhan dan 10 Bandara ke Swasta)

Globalisasi memang akan mengaburkan batas-batas suatu negara. Globalisasi menekan kebijaksanaan suatu negara yang menutup diri terhadap perdagangan antarnegara.

Liberalisasi, kompetisi bebas akan terus mendesak sehingga dapat mengakses seluruh wilayah Indonesia demi kepentingan usaha. Deregulasi akan memaksa adanya kompetisi bebas antarmaskapai penerbangan, tidak hanya domestik, tetapi juga internasional.

Hal-hal demikian tentu akan meningkatkan angkutan udara, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan pelayanan. Namun, di sisi lain akan mengurangi peran pemerintah pusat dan rasa kesatuan negara.

Untuk menjaga kesatuan wilayah negara, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah membangun infrastruktur pelabuhan laut dan udara besar di beberapa kota Indonesia.

Pertanyaan klasiknya adalah mana yang lebih dahulu disiapkan, pembangunan infrastruktur agar diikuti pertumbuhan perdagangan, atau peningkatan perdagangan agar diikuti pertumbuhan infrastruktur (trade follow the ships or ships follow the trade)?

Dalam kondisi Indonesia saat ini, menurut saya, sebaiknya infrastruktur didahulukan. Perlu pembangunan pelabuhan laut (seaport) dan pelabuhan udara (airport) yang besar, modern, dan lengkap, yang tidak hanya economically viable, tetapi juga financially feasible sebagai gateway dan hub Indonesia.

Dengan demikian, jaringan transportasi udara di dalam wilayah Indonesia tetap dilakukan di bandar udara Indonesia dan dengan sendirinya menggunakan pesawat berbendera Indonesia.

Lalu Tri Wijaya Nata Kusuma
Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan 2017/2018
PhD Program – Industrial Management, National Central University, Taiwan (ppidunia.org)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com