Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

“Hati-Hati Baca Data...”

Kompas.com - 21/11/2017, 12:13 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Upaya pemerintah menekan harga kebutuhan pokok melalui kebijakan inflasi perlu menimang keakuratan data yang digunakan. Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir.

Iskandar mengingatkan agar pengambil kebijakan berhati-hati dalam membaca data perekonomian. Hal itu karena ada banyak kegiatan ekonomi yang belum tersentuh atau tercatat dalam data terkait.

“Yang disampling itu, perusahaan yang mau mati, sementara perusahaan besar enggak mau diminta sampling. Kalau yang diambil sampel perusahaan yang hampir mati pasti dapat disimpulkan kegiatan ekonomi menurun, pasar sepi. Hati-hati membaca data,” kata Iskandar, di sela pelatihan kepada wartawan daerah di Jakarta, Senin (20/11/2017) kemarin.

Iskandar yang juga Sekretaris Tim Pengendalian Inflasi Pusat menerangkan bahwa inflasi pada bulan Oktober 2017 mencapai 0,01 persen (mom) dan 3,58 persen (yoy). Hingga bulan Oktober 2017, inflasi secara nasional mencapai 2,67 persen (ytd). Inflasi berhasil ditekan salah satunya melalui pengendalian pada sektor pangan melalui jaminan pasokan dan stok.

Baca juga: Pada 2018, Inflasi Venezuela Diprediksi Tembus 2.300 Persen

Meski laju inflasi menurun, pertumbuhan ekonomi beberapa bulan terakhir meningkat. Iskandar menegaskan bahwa itu merupakan bukti bahwa daya beli masyarakat tetap tinggi, dan tidak ada penurunan daya beli.

Inflasi sendiri, terutama indeks harga konsumen (IHK) dijadikan indikator efektif kebijakan ekonomi daerah. IHK memberi gambaran informasi perubahan harga dalam perekonomian kepada pemerintah, dunia usaha, tenaga kerja dan warga negara yang digunakan untuk membuat keputusan ekonomi.

“Sederhana saja, pertumbuhan ekonomi 3 bulan terakhir meningkat, dilihat konsumsi (daya beli) tetap, (angka) 4,93 persen itu kan gabungan individu di masyarakat, artinya tidak ada penurunan,” ujarnya.

Selain itu, pola belanja masyarakat dari ritel konvensional (offline) ke ritel online perlu pendataan yang lebih valid. Banyak pola belanja melalui online dalam skala kecil tidak tercatat dalam data.

“Ketika saya tanya di dua perusahaan ternyata lebih 6 persen, bukan 1,2 persen. Maka saya bilang harus hati-hati baca data karena ada yang tidak tertangkap,” papar Iskandar.

Baca juga: Sri Mulyani Pelajari Anomali Daya Beli Masyarakat

Inflasi Bulanan 2014-2017. Sumber data: BPSKOMPAS.com Inflasi Bulanan 2014-2017. Sumber data: BPS

93 persen impor

Sementara dalam pola belanja online, Iskandar mendapat gambaran bahwa mayoritas barang yang diperjualkan adalah produk impor. Produk dalam negeri, baik perusahaan ataupun UMKM hanya 6,7 persen. Belanja retail online masih dinikmati oleh perusahaan luar sebesar 93 persen.

Mantan Kepala perwakilan Bank Indonesia Jateng ini menerangkan, kegiatan dari belanja online itu luput tercatat dalam data karena harganya di bawah 100 dollar AS. Negara juga tidak dapat memungut cukai karena harga yang dipatok di bawah itu.

“Masalahnya semua itu enggak ketangkap, jualan produk dalam negeri itu 6,7 persen, sisanya dari luar. Itu menjawab fenomena perusahaan demand turun,” tambahnya.

Oleh karenanya, pemerintah mendorong agar ada kerjasama antara perusahaan dalam negeri dengan online. Dua pihak harus berkolaborasi dan terus berinovasi dalam penjualan.

Sumbangan inflasi lain yang tampak belum tercatat antara lain pada sektor tarif transportasi. Menurut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, tarif transportasi menjadi hal yang sebelumnya tak dihitung. Namun berdasarkan evaluasi, tarif angkutan menyebabkan kenaikan inflasi di daerah.

“(tarif) jalan tol agar bisa dimasukkan, dulu tidak menghitung hal itu, ternyata tarif angkutan bisa menyebabkan inflasi, dan itu perlu dimasukkan dalam indikator. Dulu sempat kecolongan di pulsa, pulsa naik karena tidak tahu,” ujar Ganjar.

Sementara dari sektor makanan, inflasi dikendalikan melalui sistem informasi harga dan produksi komoditi (SiHaTI). Aplikasi dinilai itu efektif karena mampu mempercepat kebijakan sektor ekonomi, terutama soal naik turunnya kebutuhan harga pokok di Jawa Tengah.

Ganjar mengatakan, selama dua tahun terakhir, aplikasi itu efektif untuk memantau, memastikan dan menurunkan harga di pasaran. Pemerintah dapat mudah mengetahui fluktuasi harga dan melakukan respon ketika harga pokok mengalami kenaikan, atau bahkan ketika harga mengalami penurunan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com