BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Uber

Zaman Sekarang, Masih Perlukah Beli Mobil?

Kompas.com - 26/11/2017, 14:01 WIB
Auzi Amazia Domasti

Penulis

Sumber kompas.com

KOMPAS.com - Kaum milenial identik sebagai kaum yang tidak mau ketinggalan informasi dan melek teknologi. Di tengah semangat semacam itu, pekerja milenial sebenarnya merasa lebih tertekan dalam masalah keuangan dibanding generasi sebelumnya.

Berdasarkan survei dari PwC yang dilansir harian Kompas, Sabtu (29/7/2017), sebanyak 52 persen responden merasa memiliki tekanan keuangan akibat gejolak di pasar saham, pendapatan yang tidak kunjung naik, sedangkan tingkat biaya hidup makin lama makin tinggi.

Hasil studi lain dari Credit Suisse pun menunjukkan bahwa sebagian besar generasi milenial disebut lebih susah untuk memperoleh uang dan pekerjaan yang lebih baik dibanding orangtuanya walau memiliki keahlian yang lebih tinggi.

Kinerja generasi milenial berada di bawah orangtuanya pada usia yang sama, terutama terkait pendapatan, kepemilikan rumah, dan dimensi kesejahteraan lainnya.

Milenial menghadapi aturan kredit yang lebih sulit, harga rumah lebih tinggi, minimnya akses dana pensiun, dan mobilitas pendapatan yang lebih rendah pula,” papar Credit Suisse dalam laporan Global Wealth, dikutip Financial Post, Selasa (21/11/2017).

Berbagai kebutuhan hidup

Lantas, generasi milenial pun perlu menetapkan skala prioritas agar memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi para pekerja, pengeluaran sehari-hari harus dihitung dan menjadi hal yang utama.

Namun, di luar itu, ada juga beberapa keperluan hidup lain yang memakan biaya cukup besar. Misalnya, biaya pernikahan, tempat tinggal, dan kendaraan.

Bagi yang hendak menikah, tentu segala perhitungan keuangan untuk pernikahan perlu menjadi hal utama. Misalnya, mulai dari pertunangan, resepsi, hingga perhiasannya.

Bahkan, karena alasan keuangan, mereka tak lagi tertarik membeli cincin tunangan berlian. Sebagai konsumen perhiasaan yang mendominasi pasar, mereka lebih memilih cincin tunangan dengan batu rubi, safir, dan emerald.

“Generasi di usia produktif dan layak menikah sekarang ini mengutamakan hal lain, seperti resepsi pernikahan, rumah, dan biaya membesarkan anak, ketimbang menghamburkan uang untuk sebuah (benda) cincin yang mahal,” ujar Anusha Couttigane, analis senior dari Kantar Retail, perusahaan informasi untuk data dan informasi bisnis, dikutip The Huffington Post, Jumat (17/3/2017).

Selanjutnya, generasi milenial pun masih harus memenuhi kebutuhan tempat tinggal alias properti. Harga properti pun kini kian naik, tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan.

Pengamat ekonomi dari Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko, mengatakan, walaupun ekonomi lesu, harga rumah dan apartemen tetap menunjukkan pertumbuhan, meski rendah, yakni 7-10 persen.

“Untuk apartemen sekelas rusun saja harganya sudah bertengger di angka Rp 9 juta hingga Rp 12 juta per meter persegi, atau Rp 350 jutaan per unit,” ujarnya dalam sebuah diskusi Property Outlook 2018 di Jakarta, dikutip Kompas.com, Jumat (20/10/2017),  

Karena itu, kelompok milenial yang mau memiliki rumah harus ekstra menabung dan pintar dalam memilih tempat yang harganya sesuai pemasukan mereka. Bila sudah cocok, down payment (DP) baru diajukan dan biasanya dilanjutkan dengan metode cicilan.

Problematika mobil pribadi

Selanjutnya, bagaimana dengan kepemilikan mobil? Ada banyak pertimbangan ketika hendak mengeluarkan biaya besar untuk membeli kendaraan pribadi.

Jika mobil pribadi hendak digunakan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti berangkat dan pulang kerja, kondisi jalanan yang dilalui pun jadi salah satu pertimbangan. Kini, kondisi jalanan di Jakarta dan sekitarnya menjadi lebih macet akibat banyaknya pembangunan infrastruktur.

Sebuah survei dari sebuah aplikasi ride-sharing pun menyebutkan, warga Jakarta menghabiskan waktu 68 menit setiap hari terjebak macet, dan 22 menit untuk mencari tempat parkir. Bila dijumlahkan, dalam setahun, warga Jakarta membuang 22 hari karena macet dan parkir.

Selain membuang waktu, menyetir sendiri saat terjebak macet di jalan membuat kaki pegal, ditambah dengan pikiran yang stres. Belum lagi, masih ada biaya pajak kendaraan, perawatannya, pengeluaran bensin, dan juga ongkos parkir ketika mampir di tempat-tempat tertentu.

Karena itu pula, transportasi umum seperti juga ride sharing pada akhirnya menjadi pilihan, di samping pertimbangan bahwa moda tersebut nyaman untuk kebutuhan bepergian sehari-hari dengan benefit lebih hemat dan efisien.

Jika lebih banyak orang yang turut menggunakan transportasi umum dibandingkan berkendara sendiri, jumlah mobil di jalan dapat menurun sehingga macet pun berkurang.

Pada akhirnya, apakah pekerja milenial mempertimbangkan kembali hal ini sebagai prioritas pengeluarannya?

Baca: Mencegah Jakarta Macet Total pada Tahun 2022

 


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com