Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action

Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia. Analis Ekonomi BNI Securities Jakarta Barat, dan Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia

Logika "Abu-Abu" Impor Beras

Kompas.com - 25/01/2018, 16:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorErlangga Djumena

JUMLAH penduduk Indonesia menurut data Kementerian Dalam Negeri per 30 Juni 2016 mencapai 257.912.349 jiwa. Jadi jumlah mulut yang harus tercukupi memang sangat besar.

Artinya, jumlah penduduk yang perlu makan juga sebesar itu. Sementara jumlah produsen pangan, yakni petani, ternyata terus menurun.

Data BPS sampai Februari 2017 menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 39,68 juta orang atau 31,86 persen dari jumlah penduduk bekerja Indonesia. Celakanya, dari jumlah tersebut ternyata sebagian besar tercatat berusia tua.

Itu berarti bahwa hanya ada 15,38 persen petani yang produktif untuk memenuhi seluruh kebutuhan pangan nasional. Persoalannya ternyata tak sampai di situ, menurut catatan Kementerian Pertanian (Kementan), terjadi penurunan lahan pertanian 100.000 hektar per tahun, dengan 80 persen terjadi di sentra produksi pangan.

Di tengah jumlah petani dan lahan garapan yang menurun, kemudian Kementan mengklaim jumlah produksi pangan, terutama beras, terus meningkat bahkan surplus.

Terdengar sedikit kontradiktif memang. Tetapi taruhlah produksi memang meningkat seiring besarnya jumlah subsidi pertanian, intensifikasi, dan industrialisasi pangan. Dengan kata lain, anggap saja Kementan benar bahwa stok sejatinya tak bermasalah, sekalipun ada cerita soal gagal panen di beberapa daerah.

Yang justru menjadi pertanyaan kemudian adalah kenapa dengan klaim surplus pangan, harga di pasar masih tinggi bahkan cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan?

Bahkan kenaikan harga beras sudah melambung hampir 10 persen. Oleh karena itu, diwajari pula mengapa pemerintah diharuskan untuk segera bertindak sebelum harga makin menggila.

Data menunjukkan, beras untuk jenis IR atau medium di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) posisi 11 Januari 2018 sebesar Rp 11.115 per kilogram (kg). Harga tersebut sudah ‎meningkat 8,9 persen dibandingkan bulan Desember 2017.

Sehari sebelumnya, tanggal 10 Januari 2017, harga beras jenis medium maupun premium bahkan bergerak lebih tinngi. Di Pasar yang sama, harga beras medium tembus Rp 12.000/kg alias melesat di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 9.450/Kg. Adapun beras premium sempat dibanderol Rp 13.000/kg, naik dari HET Rp 12.800/kg.

Namun, jika persediaan cukup dan harga malah naik, maka salah satu aspek yang bisa disalahkan adalah tata niaga pangan. Boleh jadi kenaikan produksi tidak diiringi tata niaga pangan yang baik.

Menurut aturan yang ada, produksi pangan diurusi oleh Kementan, sementara urusan tata niaga pangan menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan. Secara bisnis, tata niaga adalah faktor penting untuk menyeimbangkan arus stok dan harga pangan antar daerah.

Selain tata niaga, kenaikan harga pangan juga bisa terjadi karena ulah oknum yang ingin mendapatkan keuntungan besar.

Jika di sektor perberasan penimbunan menjadi masalah utama, pembedaan pada gula kristal rafinasi dan gula kristal putih menjadi isu sentral. Disparitas harga yang tinggi antara gula rafinasi dan gula konsumsi membuat oknum yang bermain dalam bisnis pergulaan mendapatkan keuntungan tinggi.

Nah, masalah akurasi data perberasan tak pelak melahirkan klaim kontradiktif antara Kementan dan Kemendag yang tentu akan sangat membingungkan publik. Jika amanat konstitusi mengharusnya stok beras nasional setidaknya 10 persen dari total kebutuhan, maka secara kuantitatif minimal harus ada stok sekira 4 juta ton.

Artinya, jika kita memaksakan diri untuk percaya pada klaim sepihak Kementan, maka di lapangan akan ada pasokan 4 jutaan ton lebih karena sebelumnya dinyatakan cukup bahkan surplus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com