Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action

Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia. Analis Ekonomi BNI Securities Jakarta Barat, dan Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia

Ketika AS dan China Saling Jegal

Kompas.com - 06/04/2018, 06:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KETEGANGAN hubungan dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Pada Selasa 3 April 2018, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump merilis proposal tarif impor hingga sebesar 25 persen terhadap sekitar 1.300 produk asal China.

Tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan jam, China pun terpancing dan langsung mengeluarkan balasan dengan mengumumkan bea masuk impor sebesar 25 persen untuk sekitar 106 produk dari AS.

Tak kepalang tanggung, proposal tarif impor ala China dikenakan pada produk impor utama asal AS seperti kedelai, pesawat, mobil, whiski, dan bahan kimia. Jika dihitung, nilainya mencapai 50 miliar dollar AS.

Tindakan balasan tersebut menjadi bukti dari pernyataan Kementerian Perdagangan China yang akan mengambil langkah sama besar untuk membalas tarif impor AS.

Baca juga: Perang Dagang AS-China Memanas, Saham Boeing Menukik Tajam

Sebelumnya, US Trade Representative (USTR) merilis daftar usulan pengenaan tarif impor yang bernilai sekitar 50 miliar dollar AS terhadap produk dari China.

Dalam rincian daftar yang beredar, produk China tersebut mayoritas berupa barang teknologi, transportasi dan produk medis seperti antibiotik, robot industrial serta produk perakitan pesawat.

Pengenaan tarif impor tersebut selalu disebut sebagai hukuman bagi China yang dituduh menjalankan praktik pelanggaran hak atas kekayaan intelektual milik perusahaan AS di China. Tak hanya itu, pungutan juga bertujuan untuk memangkas defisit perdagangan negara Pam Sam dengan China yang tahun lalu saja sudah mencapai 375 miliar dollar AS.

Daftar pajak impor yang diajukan USTR tidak termasuk produk yang berfokus pada produk konsumen seperti ponsel dan laptop yang dirakit di China. Namun, tarif tersebut akan berdampak pada kendaraan bermotor listrik maupun berbahan bakar bensin dan komponen televisi layar datar.

USTR menetapkan produk China yang terkena tarif impor melalui algoritma yang didesain untuk memilih produk apa saja yang akan berdampak paling besar terhadap ekspor China.

Produk yang diperkirakan bisa mengganggu perekonomian AS dikecualikan dari daftar 1.300 produk tersebut. Sedangkan produk yang masuk daftar, di peringkat sesuai besarnya dampak bagi konsumen AS.

Baca juga: 1.300 Produknya Bakal Dikenakan Tarif oleh AS, China Langsung Membalas

Tak pelak, aksi perang datang AS China tersebut menggoyang bursa Asia. Sehari setelah aksi saling jegal tersebut, 4 April 2018, mayoritas bursa Asia memerah.

MSCI Asia Pacific Index menurun 0,4 persen ke level terendah dalam lebih dari tujuh minggu. Ternyata, tanggapan China lebih keras dari apa yang diharapkan pasar. Menurut beberapa Analis Pasar Asia, memang investor tidak memperkirakan reaksi China yang seperti itu. Sehingga, ketika kebijakan Trump berbalas, pasar langsung bereaksi negatif karena semakin diliputi ketidakpastian.

Harus diakui, di balik isu tarif tersebut, bagi AS isu terpenting dalam perdangangan dengan China adalah keprihatinan AS tentang kebijakan transfer teknologi yang diterapkan oleh China, bukan pada isu ekspor baja dan alumunium China yang disubsidi, misalnya.

Walaupun subsidi tersebut merugikan produsen baja dan alumunium AS, harga yang lebih rendah juga membantu perusahaan AS yang menggunakan input baja dan alumunium, serta menguntungkan konsumen yang membeli produk tersebut.

Baca juga: WTO: Perang Dagang AS-China Berdampak Sangat Buruk

Akan tetapi, China benar-benar merugikan kepentingan AS ketika dianggap telah mencuri teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan AS.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com