Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah menjadi nol persen kuartal terakhir 1997.
Angkanya terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, kontraksi 16,5 persen kuartal II 1998, dan terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III 1998.
Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah mencapai 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah.
Baca juga: Kenaikan Peringkat RI oleh Moodys, Mengapa Rupiah Belum Menguat?
Itu terjadi karena dunia bisnis sudah tercekik akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Kini tak terasa sudah 20 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional.
Secara umum, semuanya berjalan baik. Pelan-pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap pemerintahan baru yang terbentuk juga mendapati tantangan dan peluangnya masing-masing.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan dari kepemimpinan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sama, yakni terobosan yang berani dan tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.
Faktanya, Jokowi-JK tidak lagi kebagian booming commodity sebagaimana era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono.
Booming commodity yang diprogresifkan oleh lonjakan harga komoditas dunia tersebut menggenapkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di era SBY menjadi tercatat lebih baik. Jika tidak, maka rata-rata pertumbuhan ekonomi sejak 1997 akan tergerus sekira 1,5 persen per tahun.
Rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia dari tahun 1997 sampai 2013 hanyalah 3,8 persen. Jika kita tidak memasukkan krisis keuangan Asia alias memulai analisis dari tahun 2000, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hanyalah 4,5 sampai tahun 2006.
Nah, peningkatan harga komoditas (commodity boom) menambah 1,5 persen terhadap pertumbuhan PDB Nasional. Setelah peningkatan harga komoditas menggandakan nilai ekspor Indonesia alias peningkatan kira-kira 100 miliar dollar AS, barulah rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia menjadi 6 persen.
Jadi sebagaimana dicatat dengan apik oleh Gustav Papanek (2014d), sebagian peningkatan tersebut terjadi karena peningkatan harga-harga barang yang secara tak terduga mewakili sekitar 5 persen pertumbuhan PDB.
Baca juga: Kuartal I 2018, Ekonomi Indonesia Bergerak Positif
Meskipun sebagian dari harga yang tak terduga tersebut terdiri dari keuntungan yang dikirimkan ke luar negeri, sebagian lagi masih berada di dalam negeri dan dianggap telah berhasil memberikan efek pengganda.
Pendeknya adalah bahwa ledakan harga komoditas menambah 1,5 persen per tahun kepada pertumbuhan PDB Nasional dari tahun 2006 hingga 2011. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi hanya akan mampu tercatatkan angka sekira di bawah 5 persen.
Dan celakanya, kemungkinan peluang terjadinya lonjakan harga komoditas seperti itu lagi sangatlah kecil, bahkan sangat mustahil dalam rentang beberapa tahun mendatang.
Di tangan Jokowi-JK, pertumbuhan ekonomi terbilang cukup stabil. Jika dibandingkan target yang ditetapkan dalam RPJMN atau APBN, hasilnya memang agak kurang mentereng.
Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya bertumbuh 4,88 persen, meleset sekitar 0, 82 persen dibanding target APBN dan tergelincir 0,92 dibanding Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Angka itu tumbuh jadi 5,02 persen pada 2016, meleset tipis 0,12 dibanding APBN dan 1,8 persen dibanding RPJMN.
Pemerintah berhasil menorehkan pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 sebesar 5,06 persen, yang berarti meleset 0,16 dibanding APBN dan 2,06 dibanding RPJMN. Sekalipun demikian, secara komparatif torehan pemerintah masih sangat gemilang.
Untuk melengkapi itu, pemerintah masih memerlukan terobosan lain, terutama terkait angka pertumbuhan yang lebih porgresif dan kualitas pertumbuhan itu sendiri.
Sekalipun secara komparatif angka yang diraih cukup menggembirakan, sejatinya secara domestik Indonesia masih memerlukan angka yang jauh lebih tinggi agar kue ekonomi yang tersajikan bisa mengimbangi lonjakan angkatan kerja yang kian besar (bonus demografi), mengurangi pengangguran, dan memperkecil angka kemiskinan.
Oleh karena itu, memori krisis moneter 1997/1998 harus tetap kita jadikan sebagai reminder penting bahwa apa pun alasannya, pemerintah harus mengambil semua jalan yang mungkin untuk menambal kerapuhan ekonomi yang bisa berakibat krisis.
Karena, apa pun alasaanya, kerapuhan ekonomi yang bisa berujung pada krisis pada akhirnya akan mempersempit peluang rakyat banyak untuk mendapatkan "hak untuk hidup sejahtera". Semoga.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.