Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kondisi Makro Ekonomi Indonesia Rentan terhadap Sentimen Negatif

Kompas.com - 17/05/2018, 10:11 WIB
Mutia Fauzia,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Fluktuasi kondisi pasar keuangan Indonesia tidak kunjung mereda. Pada Rabu (16/5/2018) siang, rupiah sempat menyentuh level Rp 14.100 dan ditutup menguat tipis menjadi Rp 14.097 per dollar AS.

Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menyentuh titik terendah di level 5.738,57 meski kemudian merangkak naik menjadi 5.841,46.

Chief Economist Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengakui, ekonomi Indonesia sangat rentan terhadap sentimen. Sudah begitu, dollar AS pun sedang pada posisi tren menguat karena perbaikan ekonomi di Amerika Serikat dan sejumlah dinamika geopolitik global.

Senada dengan Lana, analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada dalam kesempatan berbeda beranggapan mudahnya perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh sentimen negatif.

Dirinya menambahkan, rilis Badan Pusat Statistik pada Selasa (14/5/2018) lalu terkait defisit neraca perdagangan turut membuat pelaku pasar merasa ragu terhadap kondisi perekonomian Indonesia.

"Rilis neraca perdagangan yang defisit itu kan langsung memperlihatkan kondisi ekonomi kita," ujarnya ketika dihubingi Kompas.com, Rabu (16/5/2018).

Kejelasan Regulasi

Menurut Reza, pemerintah perlu untuk memperjelas regulasi untuk memperbaiki iklim investasi dan optimisme pelaku pasar.

"Kalau sekarang enggak jelas. Ketika nanya orang BI atau pemerintah kan mereka hanya jawab ini faktor global untuk rupiah menuju keseimbangan baru, tapi keseimbangan barunya di berapa? Apakah di Rp 13.800 atau Rp 14.000 (per dollar AS)?" ujar Reza.

Menurutnya, dengan memberikan kejelasan, rupiah memiliki kesempatan untuk menjadi lebih kuat. Sebagai contoh, saat inflasi Amerika Serikat diumumkan tak sesuai ekspektasi, dollar AS pun melemah terhadap euro.

Uni Eropa kemudian mengeluarkan kebijakan yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi kawasan.

"Dengan adanya statemen yang berimbas positif ke euro, orang melepas dollar AS (dan beralih) ke euro, sementara rupiah kita ditinggalkan. Ketika dollar AS melemah, rupiah kita tidak ada pergerakan (di tren pelemahan)," imbuh dia.

Memonitor Transaksi Valas Retail

Sementara itu Lana beranggapan, pemerintah perlu untuk melakukan kontrol terhadap transaksi valuta asing (valas) yang bersifat retail (perseorangan). Menurut dia, kebijakan moneter atau fiskal apapun tidak akan berjalan efektif jika permintaan domestik terhadap valas tidak dijaga.

"Kita perlu kontrol orang-orang yang beli (valas) di money changer, ibu rumah tangga antri beli dolar ini buat apa? Ini memang tidak terlalu material, tapi efek psikologisnya yang menganggu," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com Rabu, (15/4/2018).

Menurutnya, jumlah transaksi retail ini tidak terkendali, sehingga cukup mengganggu. Sehingga, dirinya menyarankan kepada pemerintah agar menjaga permintaan valas dalam negeri secara ketat.

"Saya jumlahnya ngga tau pembelian retail di money changer ini. Walau ada batasnya tapi kan dia bisa beli lagi di kesempatan atau money changer lain. Sehingga demand dari dalam negeri (terhadap dollar AS) perlu di monitor dengan ketat," tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com