Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dinilai Sudah Tepat, Suku Bunga Acuan BI Diperkirakan Bakal Naik Lagi

Kompas.com - 22/05/2018, 12:35 WIB
Mutia Fauzia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) meyakini Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis point (bps) pada tahun 2018.

Chief Economist BTN Winang Budoyo mengatakan, kesiapan BI untuk menempuh langkah-langkah yang lebih kuat untuk memastikan stabilisasi makroekonomi dapat diartikan BI akan menggunakan alat kebijakan moneter.

"Sehingga dapat dikatakan BI akan kembali menaikkan suku bunga di tahun 2018 ini," jelasnya melalui keterangan resminya yang diberikan kepada Kompas.com, Selasa (22/5/2018).

Lebih lanjut dirinya mengatakan, langkah BI untuk meningkatkan suku bunga pada Kamis (17/5/2018) lalu sudah tepat. Sebab, dengan kenaikan ini BI berusaha memberikan sinyal positif bagi investor asing bahwa BI tetap menjaga kestabilan makroekonomi Indonesia, terutama dalam menjaga nilai fundamental dari rupiah.

Baca juga: Bank Indonesia Akhirnya Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 4,5 Persen

Hal ini penting karena faktor pendorong ketidakpastian berasal dari faktor global, terutama dari Amerika Serikat (AS). Sehingga meskipun banyak yang berargumen bahwa suku bunga yang rendah masih dibutuhkan Indonesia, namun kenaikan suku bunga acuan diperlukan untuk menunjukkan keseriusan BI menjaga stabilitas makroekonomi Indonesia.

Selain itu rupiah mengalami tekanan di minggu terakhir bulan April 2018 ketika yield dari US Treasury 10 Years (UST 10Y) menembus level 3 persen, level tertingginya selama 4 tahun terakhir.

Kenaikan itu didorong oleh prediksi bahwa Bank Sentral AS (the Fed) akan lebih cepat dan lebih tinggi dalam menaikkan suku bunga acuannya tahun ini.

"Akibatnya investor global melakukan penyesuaian alokasi portfolio mereka baik antar kelas aset (berubah dari saham ke obligasi) maupun antar negara (keluar dari negara berkembang dan kembali masuk ke AS)," lanjutnya.

Sehingga banyak dana asing yang keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan berujung pada melemahnya mata uang negara berkembang.

Jika dihitung dari awal tahun sampai dengan pertengahan Mei 2018, nilai rupiah terdepresiasi sebesar 3,19 persen, dan sebenarnya bukan yang terburuk di antara negara berkembang. Pelemahan rupiah masih lebih rendah daripada peso Filipina (PHP), rupee India (INR), lira Turki (TRY), dan real Brasil (BRL).

Namun masalah muncul ketika investor global masih menganggap Indonesia sebagai bagian dari Fragile-5 countries (Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, Turki) seperti kondisi sewaktu terjadi taper tantrum tahun 2013.

Ketika itu Indonesia memang pantas disebut sebagai Fragile-5 country karena mempunyai defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sebesar 4,4 persen dari PDB, inflasi di atas 7 persen yoy karena pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata 40 persen, yang mendorong BI menaikkan BI rate sebesar 200 bps.

"Kondisi makroekonomi Indonesia saat ini berbeda dengan periode taper tantrum tahun 2013 tersebut, karena CAD berada di kisaran 2 persen dari PDB, inflasi berada di bawah 4 persen yoy, dan pemerintah tidak berencana untuk menaikkan harga BBM dan tariff listrik sepanjang tahun 2018-2019," ujar Winang.

Menurut dia, kondisi ini memperlihatkan Indonesia sudah tidak tepat dipersepsikan sebagai bagian dari Fragile-5 countries.

Sebagai informasi, dalam pertemuan bulanannya tanggal 16-17 Mei 2018 Dewan Gubernur BI menaikkan suku bunga acuan 7Day Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 bps menjadi 4,50 persen. Seiring dengan kenaikkan ini, BI juga menaikkan suku bunga Deposit Facility (DF) menjadi 3,75 persen dan suku bunga Lending Facility (LF) menjadi 5,25 persen.

Kenaikan tersebut merupakan yang pertama kali setelah sejak bulan September 2017 BI mempertahankan suku bunga acuannya,dan tidak berubah pada level 4,25 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com