Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarik Ulur Pengembangan Energi Baru Terbarukan di Indonesia

Kompas.com - 23/05/2018, 05:31 WIB
Mutia Fauzia,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah belakangan ini cukup sibuk menggenjot pengembangan Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia (EBT). Pasalnya, pemerintah menargetkan porsi bauran penggunaan EBT di Indonesia dapat mencapai 23 persen di tahun 2025.

Target ini merupakan respon atas disetujuinya Perjanjian Paris (Paris Agreement) untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang.

Namun nyatanya perjalanan untuk mencapai target tersebut bukan tanpa kendala. Pengusaha EBT masih mengeluhkan bunga pinjaman modal yang dianggap terlalu tinggi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan saat ini dirinya sedang menyusun skema pembayaran campuran ramah lingkungan (green financing) dengan biaya murah.

Baca: Listrik Berbasis EBT Meningkat, General Electric PHK 12.000 Karyawan

"Kita bikin pembiayaan murah yang blended. Perbankan yang komerisal dicampur dengan perusahaan non perbankan, non komersial. Kalau komerisal itu mungkin (pembiayaannya) ketinggian (terlalu mahal), makannya dicampur supaya lebih rendah. Itu skema saja, bikin skema baru," ujarnya ketika ditemui awak media di Gedung Bappenas, Selasa (22/5/2018).

Skema green financing ini merupakan bentuk insentif yang diberikan kepada pengusaha atau negara untuk mengembangkan usaha yang ramah lingkungan.

"Jadi kalau insentif ya sifatnya harus berbiaya murah. Jangan sampai green financing hanya digunakan untuk green project, tapi juga punya cost yang tidak terlalu tinggi," jelasnya.

Selain itu, Bambang mengatakan tingkat pengembalian modal proyek (internal rate return/RRT) berada pada kisaran 13 hingga 15 persen agar penngembangan proyek EBT lebih bergairah. "Ya tergantung kasus per kasus, mungkin 13-15 persen," ujar dia.

Keluhan Pengusaha

Sementara itu, Perwakilan Asosiasi Produsen Listrik Tenaga Biomassa (APLIBI) Jonathan Handojo mengeluhkan kurangnya peraturan pemerintah yang mendukung pengembangan EBT di Indonesia.

Selain itu, menurutnya PLN sebagai pemain tunggal dalam pengembangan listrik di Indonesia cenderung membatasi, dengan dalih pihak swasta tidak boleh mengambil keuntungan dari hasil penjualan listrik kepada PLN.

Baca:

"Menteri ESDM dan Dirut PLN terang-terangan ngomong untuk (pengusaha) EBT tidak boleh ambil marjin. Kalau kita enggak boleh ambil marjin, kita bayar utang perbankan pakai apa? Sudah diambil 85 persen dari HPP, masih enggak boleh dapat untung," keluhnya di kesempatan yang sama.

Menurut dia, pemerintah perlu untuk menerapkan harga bahan baku untuk biomassa, seperti Domestic Market Obligation (DMO) pada batubara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com