Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Infrastruktur Syariah dan Mudik

Kompas.com - 14/06/2018, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Musim mudik tahun ini begitu istimewa, tidak saja karena begitu mepet dengan Pilkada serentak di sejumlah daerah tujuan mudik. Mudik tahun ini juga dibayangi keresahan elit politik menjelang tahun politik 2019. Bau politik pun terbawa ketika mudik.

Meski demikian mudik tahun ini, khususnya pemudik pengguna mobil melalui Solo menuju Jawa Timur akhirnya menikmati hasil pembiayaan infrastruktur jalan tol yang menggunakan pembiayaan syariah.

Tidak banyak disadari oleh para pemudik, ruas jalan tol Solo-Kertosono yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan diselesaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepanjang 178,62 km sebagian diantaranya dibiayai oleh dana bebas riba menggunakan model sukuk.

Jalan tol yang mulai dibangun di masa Presiden Jokowi adalah proyek pemerintah dan swasta, termasuk investor China. Namun di masa Jokowi, untuk pertama kalinya pembiayaan syariah diterapkan untuk membiayai proyek jalan tol.

Pada 2015, akhirnya diputuskan penyelesaian seksi 1 proyek tol Solo-Kertosono yakni jalur Colomadu-Karanganyar sepanjang 21 km yang dikeroyok BUMN konstruksi: Wika, Waskita dan Nindya Karya menggunakan dana sukuk yang artinya bebas bunga perbankan.

Sayang, keberhasilan pembangunan infrastruktur menggunakan skema keuangan bebas riba tersebut tenggelam di antara isu yang lain. Mulai dari ribut nama gerbang tol hingga perang tagar #2019GantiPresiden sekaligus klaim jalan tol Pak Jokowi.

Kembali soal pembiayaan syariah yang terabaikan, hal ini sebetulnya ironis mengingat Indonesia masuk dalam catatan khusus yang dirilis oleh Bank Dunia tahun lalu. Laporan berjudul Mobilizing Islamic Finance for Insfrastructure Public-Private Partnerships setebal 79 halaman mencatat pertumbuhan keuangan syariah negara kita dalam periode 2008-2013 adalah yang terkencang.

Dalam hal pertumbuhan bank syariah, Indonesia adalah jawara karena mencatatkan angka 40,5 persen, jauh di atas bank konvensional yang mencapai 15,9 persen. Sementara untuk simpanan uang pun bank syariah tumbuh hingga 41,6 persen, sedangkan bank konvensional hanya tumbuh 15,7 persen.

Dengan angka yang terpampang dalam laporan tahun 2017 tersebut, Indonesia jauh di atas negara pemimpin keuangan syariah seperti Malaysia, Qatar, Turki, Uni Emirat Arab bahkan Arab Saudi sekalipun.

Sayang, pertumbuhan luar biasa industri keuangan syariah Indonesia tidak berimbas secara langsung pada pembiayaan syariah terhadap infrastruktur. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar justru terbilang terlambat memanfaatkan instrumen syariah untuk melakukan penghimpunan dana yang ditujukan untuk membiayai infrastruktur.

Jenis-jenis pembiayaan berbasis syariah sendiri beragam a.l. ijarah (sewa guna usaha), murabahah (jual beli), istisna, musharakah, dan yang paling dikenal yaitu sukuk. Tentu saja pengucuran pembiayaan keuangan syariah membutuhkan jaminan keamanan berupa asuransi berbasis syariah yaitu takaful.

Potensi dana yang dapat diraih melalui instrumen syariah di Indonesia sangat besar, nilainya diperkirakan bisa mencapai 200 miliar dollar AS hingga 300 miliar dollar AS. Namun sayangnya, Indonesia tertinggal dibandingkan negara lain.

Bebas bunga

Sebagai negara mayoritas Muslim, jiran kita, Malaysia sudah sejak lama memanfaatkan pembiayaan berbasis syariah untuk pembangunan proyek infrastruktur seperti jalan tol, perumahan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

Pada 2002, Malaysia bahkan telah menerbitkan Malaysian Global Sukuk (MGS) yang merupakan obligasi syariah global pertama yang diterbitkan oleh negara itu sebesar 600 juta dollar AS. Saat dilepas ke pasaran, obigasi ini banjir permintaan (oversubcribed) hingga 300 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com