Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anthony Dio Martin
Psikolog

Anthony Dio Martin, WISE (Writer, Inspirator, Speaker & Entepreneur). Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia.

Website: www.hrexcellency.com dan FB: anthonydiomartinhrexcellency dan IG: anthonydiomartin
 

Servant Leadership: Merindukan Pemimpin Yang Tidak Egois

Kompas.com - 18/07/2018, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tanggal 29 Mei 1953, hari yang bersejarah. Untuk pertama kalinya, puncak tertinggi di dunia ditaklukkan. Dunia mencatat ada dua orang yang pertama kali sampai ke Puncak Mount Everest yakni Edmund Hillary serta sherpa-nya, yakni Tanzing Norgay.

Tapi dunia masih penasaran, alias kepo. Siapa sih yang duluan menapakkan kakinya di puncak? Orang-orang menduga dan bertanya pada Tanzing Norgay, pastilah ia sebagai pemandunya yang sampai ke puncak duluan. Ternyata, faktanya lain.

Tanzing Norgay tahu diri. Pada saat menjelang puncak, ia mempersilakan Edmund Hillary sampai ke puncaknya. Ketika ditanya mengapa ia tidak berusaha untuk sampai ke puncak duluan, ia berkata, “Saya mempersilakan Edmund Hillary sampai dulu karena tugas saya adalah menghantar dia ke puncak. Itulah impiannya. Impian saya adalah menjadi pemandu yang berhasil.”

Tapi, dunia tidak pernah akan lupa dengan Tanzing Norgay. Toh, ia tetap dihargai dan dikenang selamanya sebagai manusia yang pertama “menyertai” orang pertama kali sampai ke Puncak tertinggi di dunia.

Bahkan, di belakang nama besar mereka ada Kolonel John Hunt, si pemimpin ekspedisi yang mengiklaskan timnya untuk mendapat penghargaan sebagai orang yang pertama kali sampai ke Puncak. Padahal, John Hunt sendiri sebenarnya bisa ngotot agar dirinya yang harus sampai ke puncak. Tapi, karena support, jasa-jasanya serta pengorbanannya, maka John Hunt pun diberikan gelar kebangsawanan atas kepemimpinannya di tim ekspedisi bersejarah ini.

Itulah dari dunia pendakian

Dalam dunia pemerintahan, kita mengenal Muhammad Hatta. Seorang bapak bangsa yang pantas diteladani. Banyak kisah mengenai beliau yang sungguh membuat kita angkat topi.

Mulai dari teladanannya sewaktu terjadi pengguntingan uang ORI di tahun 1950. Hatta mengetahuinya, tapi keluarganya sendiri tidak diberitahu karena merasa itulah integritasnya sebagai pemimpin untuk mendahulukan kepentingan rakyat daripada dirinya.

Hatta sempat ditanya Ny Rahmi mengapa tidak memberitahu, dan ia pun menjawab tegas, “Kepentingan bangsa, lebih utama daripada kepentingan pribadi”. Bahkan, hingga pensiun, Hatta punya keinginan membeli sebuah sepatu Bally yang tidak pernah terbeli olehnya. Dan ketika pensiun pun, konon Hatta sempat punya masalah finansial dalam membayar tagihan listrik. Untungnya, ia pun dibantu Pemda DKI pada waktu itu.

Bayangkanlah kalau kondisi Hatta itu terjadi pada kebanyakan pemimpin yang egois? Mungkin ada banyak yang akan mendahulukan keluarganya terlebih dahulu. Akan, ada banyak pula yang meminta ‘fasilitas’ dari negara, serta meminta bantuan kiri kanan, oleh karena beliau adalah pejabat negara. Tapi, justru itulah yang membuat Mohammad Hatta, layak diacungkan jempol sebagai pemimpin bangsa yang sesungguhnya.

 Menggali Kembali Konsep Servant Leadership

Adakah benang merah dari kedua kisah di atas? Ada. Dua-duanya, berbicara soal pemimpin yang tahu diri, tahu tugasnya dan tahu bahwa menjadi pemimpin adalah amanah. Mereka-mereka adalah pemimpin luar biasa yang meletakkan egonya dibawah pentingnya tugas dan kebutuhan orang yang mereka pimpin. Itulah yang kita sebut Servant Leader, pemimpin yang serius melayani.

Sebenarnya, konsep pemimpin yang melayani, telah dipelopori sejak tahun 70an oleh seorang bernama Robert Greenleaf. Dialah yang memberi nama Servant Ledaership. Beliau adalah seorang pejabat tinggi di perusahaan AT&T yang terkemuka di Amerika, namun tidak puas dengan kepemimpinan yang disaksikannya saat itu di negerinya.

Menurutnya, “Orang-orang dalam sebuah organisasi peduli dengan organisasinya, sebagaimana ia dipedulikan”. Makanya, ia pun tertarik untuk memperkenalkan konsep servant leadership, yang ia banyak lihat dari contoh positif yang diberikan ayahnya sendiri.

Salah satu kalimat menarik yang diucapkan oleh Greenleaf adalah, “Jika kamu melihat alasan untuk jadi seorang pemimpin adalah supaya kamu bisa dilayani, atau supaya kamu bisa jadi penguasa dan mengatur sana sini, maka…Kamu tidak tepat disebut sebagai seorang pemimpin!”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com