Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Freeport, Freeport, dan Freeport lagi

Kompas.com - 23/07/2018, 06:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pasca-Head of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran, dan Rio Tinto pada Kamis 12 Juli 2018 muncul, demikian banyak respons dari berbagai kalangan yang pada intinya "membingungkan" lawan dan kawan.

Bagaimana tidak membingungkan bila keterangan dari seorang pejabat yang mengatakan bahwa HoA itu sudah di-locked dan Pejabat lainnya berkata HoA itu tidak mengikat.

Belum lagi demikian banyak pendapat yang dilontarkan oleh para "ahli" dan atau "pengamat" pertambangan dan banyak lagi lainnya yang sulit untuk dapat dilacak garis atau benang merahnya. Singkat kata, masyarakat awam menjadi bingung.

Sangat patut dimaklumi kebingungan yang terjadi di masyarakat luas, karena memang masalah Freeport, terutama sekali format HoA, adalah sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk dapat dimengerti oleh orang awam.

Lebih-lebih lagi masalah tentang Freeport sudah terlanjur menjadi sebuah pemahaman yang sering diletakkan pada posisi yang beda-beda tipis dengan bentuk neo kolonialisme, VOC, mafia tambang, pemerasan, perampokan dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kejahatan.

Freeport nyaris tidak pernah dilihat sebagai sebuah bentuk dari Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia yang keberadaannya tidak mungkin terjadi tanpa ijin resmi dan pengawasan ketat dari sebuah pemerintahan yang sah.

Kembali kepada kebingungan yang terjadi terutama pada pasca-penandatanganan HoA, mungkin penjelasan Prof Rhenald Kasali di acara sebuah televisi swasta dapat sedikit memberikan pencerahan kepada kita semua.

Pada kesempatan itu, Prof Rhenald mengatakan bahwa penjelasan dari berbagai pihak yang membingungkan itu semata berakar kepada masalah mendasar tentang kompetensi dan persepsi.

Menjadi sangat masuk akal bahwa penjelasan apapun dari seseorang yang tidak kompeten di bidangnya serta disertai dengan persepsi yang keliru pasti akan "membingungkan".

Selain membingungkan, HoA disebut juga sebagai sebuah hasil yang memakan waktu panjang dan sangat alot. Dalam hal ini, Said Didu, pelaku perundingan dengan Freeport di tahun 2015, pada acara televisi memberikan informasi tentang fakta-fakta bahwa masalah Freeport memang pelik dan bahkan sangat "simalakama" bagi pemerintahan siapapun atau bagi siapapun Presidennya.

Menurut Said Didu, skandal "papa minta saham" telah membubarkan negosiasi-negosiasi yang ada. Ada banyak sekali benalu-benalu di Freeport ini.

Perunding-perunding yang datang ke Jakarta selalu diinjak kakinya. Jadi, menurut Said Didu, benalu-benalu Freeport itu ada di Jakarta, bukan di mana-mana.

Said Didu menyimpulkan bahwa masalah Freeport terlalu banyak muatan politknya. Dengan ini, mungkin maksudnya adalah terlalu banyak orang atau pihak yang turut campur dalam urusan Freeport yang seharusnya dapat diselesaikan bila diserahkan saja kepada mereka yang berkompeten dengan mengacu kepada Undang-undang dan regulasi serta ketentuan yang ada.

Selama ini banyak orang mencampur adukkan masalah bisnis (PMA) dengan masalah kedaulatan negara. Itu sebabnya perundingan menjadi memakan waktu lama dan sangat alot.

Dari sekian banyak informasi yang beredar dan membingungkan selama ini tentang Freeport, mungkin penjelasan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani di pesantren saat menjawab pertanyaan para santri dapat memberikan pencerahan bagi kita semua tentang posisi Freeport selama ini di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com