JAKARTA, KOMPAS.com - Tingginya beban subsidi bahan bakar minyak dianggap salah satu faktor kondisi keuangan PT Pertamina Persero memburuk.
Mantan Staf Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan, di tengah kenaikan harga minyak dunia, pemerintah memerintahkan Pertamina tetap menahan harga bahan bakar subsidi agar tak naik.
Sementara itu, pemerintah tak menambah anggaran subsidi BBM sehingga Pertamina menggunakan anggarannya untuk menutupi biaya subsidi.
"Dulu harga BBM subsidi ditentukan saat harga minyak 30 sampai 40 dollar AS per barel. Sekarang kan di atas 70 dollar AA per barel. Berarti sekarang sudah berat sekali beban Pertamina," ujar Said kepada Kompas.com, Senin (23/7/2017).
Baca juga: Pertamina Sebut Harga Premium Semestinya Rp 8.600 Per Liter
Belum lagi kurs mata uang rupiah semakin melemah terhadap dollar AS.
"Sehingga sekarang Pertamina berturut-turut menghadapi persoalan yang sangat berat," lanjut dia.
Kompensasi
Said menganggap pemerintah melanggar Undang-undang BUMN Pasal 66 menyebutkan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah.
Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan.
Penugasan terhadap Pertamina saat ini antara lain mempertahankan harga BBM subsidi seperti premium dan solar jangan sampai naik.
Padahal, harga minyak dunia sudah jauh lebih tinggi. Selain itu, kebijakan BBM satu harga juga dianggap makin membebani Pertamina.
Baca juga: Penetapan Subsidi Solar Tunggu Kementerian ESDM
Lagi-lagi, perseroan tersebut harus menutupi anggaran bahan bakar agar harganya sama rata dari Sabang sampai Merauke.
Namun, kenyataannya pemerintah tak menyalurkan kompensasi tersebut sehingga Pertamina merugi.
"Ada penugasan tapi tidak ada uangnya," kata dia.
Pertamina terpaksa lepas aset