Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Was-was Ada Penumpang Gelap Seakan-akan Membantu Pertamina...

Kompas.com - 24/07/2018, 09:36 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Pertamina Persero disebut-sebut bakal melepas asetnya untuk menambal kondisi keuangan yang bermasalah. Mantan Staf Khusus Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu menilai, pelepasan aset justru bisa jadi masalah baru bagi Pertamina maupun pemerintah.

"Belum tentu bisa menyelesaikan masalah. Bisa saja menimbulkan masalah baru," ujar Said kepada Kompas.com, Senin (23/7/2018).

Dengan kondisi Pertamina saat ini, menurut Said, perseroan dalam posisi tawar yang rendah. Dikhawatirkan banyak pihak yang memanfaatkan lemahnya keuangan Pertamina sehingga terjadi obral aset. Bisa saja Pertamina menerima penawaran rendah yang mau tak mau dilakukan untuk memulihkan keuangan.

"Yang saya was-was kalau terjadi seperti ini adalah masuknya penumpang gelap yang seakan-akan membantu negara dan membantu Pertamina. Padahal dia tekan habis harga nilai yang digunakan untuk menggadai aset Pertamina," kata Said.

Baca juga: Menteri Rini Tegaskan Tidak Ada Penjualan Aset Pertamina

Said menuturkan, setidaknya ada tiga penyebab keuangan Pertamina bermasalah.

1. Harga subsidi bahan bakar stagnan

Tingginya beban subsidi bahan bakar minyak dianggap salah satu faktor kondisi keuangan Pertamina memburuk. Di tengah kenaikan harga minyak dunia, pemerintah memerintahkan Pertamina tetap menahan harga bahan bakar subsidi agar tak naik. Sementara itu, pemerintah tak menambah anggaran subsidi sehingga Pertamina menggunakan anggarannya untuk menutupi biaya subsidi.

"Dulu harga BBM subsidi ditentukan saat harga minyak 30 sampai 40 dollar AS per barrel. Sekarang kan di atas 70 dollar AA per barrel. Berarti sekarang sudah berat sekali beban Pertamina," kata Said.

Dalam Undang-undang BUMN Pasal 66 disebutkan, tidak tertutup kemungkinan untuk hal-hal yang mendesak, BUMN diberikan penugasan khusus oleh pemerintah. 

Apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan. Namun, kenyataannya pemerintah tak menyalurkan kompensasi tersebut sehingga Pertamina merugi.

2. Tingginya harga minyak dunia

Pada kebijakan tahun 2015, premium dan solar diberi subsidi yang dinamis mengikuti harga minya dunia. Dulu, kata Said, setiap beberapa bulan sekali pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Namun, dengan memerintahkan Pertamina menahan harga subsidi, pemerintah telah membebani keuangan perseroan.

Said mengatakan, jika kondisinya terjadi pada 2015-2016 masih relevan harganya. Saat itu, harga minyak dunia masih 50 dollar AS per barrel dengan kurs Rp 13.000 per dollar AS. Namun, saat ini kurs rupiah berada di kisaran Rp 14.500 dan harga minyak dunia mencapai 70 dollar AS per barrel.

"Dengan harga minyak sekarang, harga premium kira-kira layaknya Rp 8.500, tapi sekarang Rp 6.500. Pertamina nombok Rp 2.000 per liter. Kira-kira harga solar sekitar Rp 8.320, sekarang dijual Rp 5150 ditambah subsidi Rp 500," kata Said.

"Sisanya Pertamina lagi yang menanggung. Itu berat sekali," lanjut dia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com