Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani: Pembayaran Utang Saat Ini adalah Kewajiban dari Sebelum Presiden Jokowi

Kompas.com - 20/08/2018, 12:32 WIB
Kontributor Amerika Serikat, Andri Donnal Putera,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pembayaran pokok utang pemerintah untuk tahun 2018 sebagian besarnya dari utang yang dibuat sebelum periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau sebelum 2015.

Hal itu disampaikan Sri Mulyani, sekaligus untuk menanggapi pernyataan Ketua MPR Zulkifli Hasan yang menyebut pembayaran pokok utang pemerintah tahun ini tidak wajar.

Bahkan, Zulkifli juga mengatakan pembayaran pokok utang pemerintah tahun ini 7 kali lebih besar dari dana desa dan 6 kali lebih besar dari anggaran kesehatan. Sehingga, kewajaran besaran pembayaran pokok utang pemerintah tersebut dipertanyakan.

"Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp 396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut, 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 atau sebelum Presiden Jokowi," kata Sri Mulyani melalui akun Facebook resminya, Senin (20/8/2018).

Baca juga: Sri Mulyani: Tahun Depan Berat, Banyak Utang di Masa Lalu Jatuh Tempo

Jika merunut masa kepemimpinan Presiden RI, maka yang menjabat sebelum Jokowi adalah Susilo Bambang Yudhoyono.

Menurut Sri Mulyani, Zulkifli merupakan bagian dari kabinet saat itu sehingga seharusnya tahu bahwa utang yang jatuh tempo tahun ini berasal dari masa jabatannya dahulu. Adapun 31,5 persen dari pembayaran pokok utang tahun ini turut dipakai sebagai instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau SPN Syariah dengan tenor di bawah 1 tahun.

"Itu merupakan instrumen untuk mengelola arus kas. Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?" tutur Sri Mulyani.

Sri Mulyani justru mempertanyakan, kenapa Zulkifli yang saat itu ada di kabinet tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran antara perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan. Padahal, rasionya lebih tinggi dari yang sekarang.

"Jadi, ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?" tanya Sri Mulyani.

Baca juga: Soal Cicilan Utang Rp 400 Triliun, Sri Mulyani Angkat Bicara

Sri Mulyani turut menyertakan beberapa penjelasan perbandingan antara jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan dana desa. Perbandingan ini disertakan untuk mengkritisi ucapan Zulkifli yang menggunakan perbandingan tersebut dalam pidatonya di pidato sidang tahunan MPR hari Kamis (16/8/2018) lalu.

Jumlah pembayaran pokok utang pemerintah tahun 2009 adalah RP 117,1 triliun dan anggaran kesehatannya sebesar RP 25,6 triliun. Sehingga, perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat.

"Tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp 396 triliun sedangkan anggaran kesehatan Rp 107,4 triliun atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya, rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen," ucap Sri Mulyani.

Sedangkan perbandingan dengan dana desa, jika dilihat pembayaran pokok utang tahun 2015, maka besarannya 10,9 kali lipat. Tahun 2015 dipilih karena dana desa baru dimulai pada tahun itu.

"Pada tahun 2018, rasio turun 39,3 persen jadi 6,6 kali. Bahkan di tahun 2019 turun lagi hampir setengahnya jadi 5,7 kali. Artinya, kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan pembayaran pokok utang. Lagi-lagi tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR," sebut Sri Mulyani.

Kompas TV Meski sentiman pada Indonesia hanya sementara, pemerintah tetap waspada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com