Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nufransa Wira Sakti
Staf Ahli Menkeu

Sept 2016 - Jan 2020: Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan.

Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak

5 Hal yang Perlu Diketahui tentang Utang Negara

Kompas.com - 29/08/2018, 11:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERITA tentang utang pemerintah kembali menghangat di media sosial. Polemik tentang utang dimulai dari adanya pernyataan Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2018.

Ketika itu, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa utang pemerintah sudah di luar batas kewajaran dan batas negara untuk membayar.

Untuk melihat dan memahami utang pemerintah secara proporsional, tentu saja harus dibandingkan dalam rasio yang lazim digunakan dalam pengukuran ekonomi suatu negara.

Yang pertama adalah tentang besaran utang itu sendiri. Ibarat suatu perusahaan, besaran utang yang digunakan oleh perusahaan tersebut harus dibandingkan dengan penghasilan atau pendapatan yang diterimanya.

Utang perusahaan tersebut akan dianggap wajar apabila penghasilan perusahaan yang digunakan untuk membayar utang tersebut cukup memadai. Untuk negara, utang suatu negara dapat dibandingkan dengan penghasilan negara tersebut yang tecermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

PDB ini dapat dianggap sebagai penghasilan yang diperoleh dalam suatu perusahaan. Saat ini jumlah utang pemerintah per akhir Juni 2018 adalah Rp 4.253 triliun atau 29,7 persen dari PDB.

Nilai ini juga masih di bawah dari nilai yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu sebesar 60 persen dari PDB. Jumlah utang tersebut juga tidak jatuh tempo sekaligus dalam satu tahun.

Hal kedua adalah alasan kenapa pemerintah berutang. Utang timbul karena konsekuensi dari jumlah belanja negara yang lebih besar dari pendapatan negara.

Pemerintah menganggap bahwa Indonesia membutuhkan suatu lompatan agar meningkatkan kapasitasnya sehingga menggunakan uang belanjanya secara besar untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial.

Bila dianalogikan dalam perusahaan, kapasitas perusahaan tersebut dapat meningkat apabila terdapat belanja yang digunakan untuk meningkatkan produksinya.

Belanja yang produktif dalam suatu perusahaan dapat berupa pembelian tanah untuk memperluas pabrik, pembelian mesin, pendidikan dan pelatihan bagi pegawai.

Dengan pembelian yang produktif tersebut, pendapatan perusahaan dapat meningkat lebih besar. Tambahan penghasilan akan dapat meringankan pembayaran cicilan utang di masa datang.

Begitu juga dengan belanja negara, bila anggaran belanja digunakan untuk hal yang produktif, akan berdampak pada meningkatnya produktivitas sumber daya manusia negara secara keseluruhan.

Pada tahun 2015-2017, pemerintah telah membelanjakan anggarannya untuk hal yang produktif.

- Infrastruktur: 6 bandara baru; 9.544 km jalan rekonstruksi, pelebaran dan pembangunan baru; 105 bendungan baru; 818 km rel kereta api, 341.500 unit rusun, rumah khusus, dan rumah swadaya (termasuk peningkatan kualitas)

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Apa Itu Reksadana Pendapatan Tetap? Ini Arti, Keuntungan, dan Risikonya

Apa Itu Reksadana Pendapatan Tetap? Ini Arti, Keuntungan, dan Risikonya

Work Smart
BI Kerek Suku Bunga Acuan ke 6,25 Persen, Menko Airlangga: Sudah Pas..

BI Kerek Suku Bunga Acuan ke 6,25 Persen, Menko Airlangga: Sudah Pas..

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Rupiah Masih Melemah

Suku Bunga Acuan BI Naik, Rupiah Masih Melemah

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Kamis 25 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Kamis 25 April 2024

Spend Smart
SMGR Gunakan 559.000 Ton Bahan Bakar Alternatif untuk Operasional, Apa Manfaatnya?

SMGR Gunakan 559.000 Ton Bahan Bakar Alternatif untuk Operasional, Apa Manfaatnya?

Whats New
Harga Emas Terbaru 25 April 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 25 April 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Harga Bahan Pokok Kamis 25 April 2024, Harga Cabai Rawit Merah Naik

Harga Bahan Pokok Kamis 25 April 2024, Harga Cabai Rawit Merah Naik

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BNI hingga Bank Mandiri

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BNI hingga Bank Mandiri

Whats New
Harga Emas Dunia Melemah Seiring Meredanya Konflik Timur Tengah

Harga Emas Dunia Melemah Seiring Meredanya Konflik Timur Tengah

Whats New
IHSG dan Rupiah Melemah di Awal Sesi

IHSG dan Rupiah Melemah di Awal Sesi

Whats New
Terinspirasi Langkah Indonesia, Like-Minded Countries Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Terinspirasi Langkah Indonesia, Like-Minded Countries Suarakan Penundaan dan Perubahan Kebijakan EUDR

Whats New
Manfaat Rawat Inap Jadi Primadona Konsumen AXA Financial Indonesia

Manfaat Rawat Inap Jadi Primadona Konsumen AXA Financial Indonesia

Whats New
Kemenko Marves: Prabowo-Gibran Bakal Lanjutkan Proyek Kereta Cepat sampai Surabaya

Kemenko Marves: Prabowo-Gibran Bakal Lanjutkan Proyek Kereta Cepat sampai Surabaya

Whats New
Layani Angkutan Lebaran Perdana, Kereta Cepat Whoosh Angkut 222.309 Penumpang

Layani Angkutan Lebaran Perdana, Kereta Cepat Whoosh Angkut 222.309 Penumpang

Whats New
Laba Unilever Naik 3,1 Persen Menjadi Rp 1.4 Triliun pada Kuartal I-2024

Laba Unilever Naik 3,1 Persen Menjadi Rp 1.4 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com