Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelemahan Rupiah Tak Separah 1998, Ini Sebabnya

Kompas.com - 06/09/2018, 15:27 WIB
Mutia Fauzia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga hari ini, Kamis (6/9/2018) rupiah masih bergerak terus di kisaran Rp 14.905 per dollar AS di pasar spot Bloomberg. Banyak pihak yang membandingkan melemahnya rupiah dengan kondisi krisis moneter di Indonesia tahun 1998 lalu.

Pada September 1997, rupiah berada di level Rp 3.030 per dollar AS dan terdepresiasi hingga 254 persen pada September 1998 menjadi Rp 10.725 per dollar AS.

Sementara itu, pada September 2017, rupiah ada pada level Rp 13.345 per dollar AS dan melemah hanya 11 persen per tanggal 3 September 2018 menjadi Rp 14.815 per dollar AS.

Director of Investment Strategy PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menjelaskan beberapa hal yang membedakan melemahnya rupiah di tahun 1998 dengan tahun 2018

Pertama, kala dollar AS menguat terhadap rupiah di tahun itu, rupiah tidak serta merta mengikuti penguatan tersebut. Pemerintah menjaga nilai tukar supaya tetap stabil, sehingga terjadi ketidakcocokan antara kondisi eksternal dan internal.

"Kala itu dari sisi internal kita ceroboh, kita tidak menjelaskan kepada masyarakat mengenai melemahnya rupiah terhadap dollar AS. Indeks dollar AS bergerak menguat, rupiah dibiarkan anteng. Transaksi berjalan juga defisit. Dulu krisis moneter itu saat rupiah haris menemukan harga dirinya lagi," ujar dia ketika memberikan penjelasan kepada awak media.

Hal itu menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan swasta yang kemudian jor-joran melakukan kredit yang dinilai murah. Momentum itu pun dimanfaatkan oleh para spekulan.

Kemudian, perbankan kala itu tidak mengelola likuiditas mereka dengan baik. Loan to Depocit Ratio (LDR) perbankan mencapai 110 persen.

Perbankan menyalurkan kredit tidak hanya berasal dari dana nasabh, tetapi juga memanfaatkan utang. Sementara saat ini, pengawasan transaksi perbankan dinilai telah dilakukan dengan baik oleh otoritas terkait seperti Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Bahayanya itu ketika currency weaknes nyeberang ke banking crisis. Tapi sekarang sudah ada circuit breaker-nya, bank sekarang lebih prudent," ujar dia.

Selajutnya, pemerintah tahun ini lebih moderat dalam melakukan utang. Sebab, peraturan perundang-undangan membatasi defisit maksimum APBN sebesar 3 persen dari PDB.

Adapun posisi utang yang sebesar 341 miliar dollar AS atau 28,9 persen terhadap PDB masih lebih kecil dibandingkan dengan negara lain seperti Brazil yang proprosi utangnya 84 persen terhadap PDB.

Namun, Budi menjelaskan, masalah utama Indonesia adalah perlakukan konsumtif, sementara di sisi lain produktifitas rendah. Rendahnya produktifitas pun dicerminkan dari defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh defisit neraca barang dan jasa.

Budi menilai, upaya pemerintah untuk menekan impor melalui implementasi PPh pasal 22 terhadap 1.142 produk impor sudah tepat. Namun, juga harus diimbangi dengan ekspor yang terus digenjot.

"Jadi kita jangan hanya meredam impor saja, tetapi juga harus meningkatkan produktivitas sekaligus competitiveness," jelas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com