Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usulan Subsidi Energi Dicabut karena Rupiah Melemah, Bagaimana Datanya?

Kompas.com - 07/09/2018, 10:18 WIB
Kontributor Amerika Serikat, Andri Donnal Putera,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pihak menyarankan kepada pemerintah mencabut subsidi energi, dalam hal ini Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik, untuk menangani tren pelemahan rupiah yang terjadi sampai hari ini. Nilai tukar rupiah sepekan ini bergerak di kisaran Rp 14.900 sampai Rp 15.000 per dollar AS.

Mengacu pada realisasi Belanja Pemerintah Pusat (BPP) sampai 31 Juli 2018 yang dilansir dari laman kemenkeu.go.id, belanja subsidi yang masuk dalam kategori belanja non kementerian/lembaga tercatat sebesar Rp 91,26 triliun dari alokasi subsidi dalam APBN 2018 yang ditetapkan sebesar Rp 156,23.

Secara umum, realisasi belanja non kementerian/lembaga meningkat karena belanja pegawai lebih tinggi (utamanya dari pembayaran THR dan pensiunan), outstanding utang, kenaikan tingkat bunga obligasi negara, dan melemahnya nilai tukar rupiah, serta realisasi pembayaran subsidi sebagai dampak dari menguatnya harga minyak dunia, serta pemenuhan kewajiban pemerintah atas kurang bayar tahun-tahun sebelumnya sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Belanja subsidi itu yang memungkinkan pemerintah menerapkan subsidi untuk BBM jenis premium dan solar, di mana banyak digunakan untuk angkutan umum dan angkutan barang atau logistik. Sementara harga minyak mentah dunia terus meningkat sejalan dengan perkembangan harga komoditas global.

Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya telah memastikan tidak ada kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium dan solar hingga akhir tahun 2018.

Rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price) di bulan Juli saja mencapai 70,68 dollar AS per barrell. Realisasi ICP ini jauh lebih tinggi dari asumsi dasar ekonomi makro tahun 2018 hasil pembahasan pemerintah bersama DPR RI, yakni 48 dollar AS per barrell.

Di satu sisi, biaya untuk subsidi energi dipastikan melonjak karena ICP yang juga lebih tinggi. Namun, kenaikan ICP juga menyumbang dampak positif terhadap penerimaan negara di sektor minyak bumi dan gas (migas).

Lantas, kenapa subsidi energi jadi hal penting bagi pemerintah? Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin (3/9/2018) lalu menyampaikan Indonesia mengalami deflasi 0,05 persen di bulan Agustus 2018. Deflasi terjadi dikarenakan harga-harga terkendali, di antaranya harga BBM yang sebagian ditanggung oleh pemerintah melalui subsidi energi.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, inflasi menjadi indikator yang mencerminkan daya beli masyarakat. Jika daya beli masyarakat tinggi, maka pertumbuhan ekonomi dapat meningkat ke arah yang positif, lebih jauh lagi tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka akan menurun.

Pemerintah menargetkan inflasi untuk keseluruhan tahun ini sesuai target awal, yakni 3,5 persen. Hingga Agustus 2018 lal, inflasi tahun ke tahun (year on year) mencapai 3,2 persen.

Mengenai nilai tukar rupiah, pemerintah telah menyampaikan komitmennya untuk mengatasi hal tersebut. Dalam jangka pendek, ada berbagai kebijakan untuk mengurangi impor yang membuat Indonesia tertekan karena dollar AS yang menguat, yaitu pengaturan tarif PPh Impor terhadap 1.147 komoditas impor barang konsumsi, program B20 yang bertujuan mengurangi impor solar, serta peningkatan devisa dari sektor pariwisata.

Bank Indonesia juga menyatakan akan terus mengintervensi pasar valas dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com