Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Pelemahan Nilai Tukar Rupiah dari Cara Kerja Irigasi

Kompas.com - 19/09/2018, 12:06 WIB
Kontributor Amerika Serikat, Andri Donnal Putera,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang terjadi sampai hari ini dinilai masih belum banyak dipahami secara menyeluruh oleh pihak-pihak tertentu.

Untuk menjelaskan itu, Bank Indonesia memakai perumpamaan fenomena pelemahan nilai tukar secara umum dengan cara kerja irigasi dan sawah.

"Apa yang terjadi dengan rupiah kita ibarat punya ladang atau sawah, airnya banyak tergantung dari irigasi. Sejauh mana aliran air irigasi itu lancar dan bagaimana debit airnya," kata Direktur Eksekutif Departmen Internasional Bank Indonesia Doddy Zulverdi saat diskusi mengenai rupiah di DPR RI, Rabu (19/9/2018).

Doddy menuturkan, ladang atau sawah diibaratkan sebagai perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Sementara irigasi adalah bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed dan air dari irigasi tersebut adalah dollar AS selaku mata uang yang jadi otoritas dari The Fed.

Untuk menggarap ladang atau sawah guna memberikan hasil yang baik, memerlukan air yang cukup dari irigasi tersebut. Namun, sebut Doddy, perlu diingat bahwa irigasi yang mengatur bagaimana aliran dan seberapa besar debit air tidak dalam kontrol Indonesia, melainkan merupakan kuasa penuh bank sentral AS.

Kondisi ladang atau sawah Indonesia sangat bergantung pada air dari irigasi, dengan kata lain masih butuh dollar AS untuk impor. Doddy menyebut bahwa pembangunan yang marak di Tanah Air sampai saat ini sebagian besar tergantung dari impor, terutama bahan baku dan barang modal.

"Tingkat pembangunannya masih butuh banyak barang yang belum bisa kita hasilkan sendiri, termasuk barang dengan teknologi tinggi maupun barang modal," tutur Doddy.

Sementara saat ini, kondisinya pengendali irigasi alias AS sedang mengurangi aliran air ke ladang atau sawah di sekitarnya.

Pengurangan tersebut dilakukan dalam rangka mengantisipasi kondisi ekonominya yang berpotensi terjadi overheating atau permintaan semakin tinggi dan tidak bisa disuplai dari dalam negeri yang akhirnya dapat memicu tingginya inflasi.

Overheating diprediksi akan terjadi di AS lima tahun dari sekarang. Hal itu bisa terjadi karena perekonomian AS sedang tumbuh sehingga untuk mengendalikannya, The Fed mengurangi aliran dollar AS di pasar dan bahkan menaikkan suku bunganya secara bertahap.

"Otomatis, negara-negara pembeli dollar AS, akan menerima lebih sedikit dollar AS dan harganya tinggi," ujar Doddy.

Di sisi lain, para investor akan merealokasi aset mereka yang kebanyakan dalam mata uang dollar AS, khususnya di negara-negara berkembang. Hal itu menyebabkan dollar AS banyak keluar dari negara berkembang ketika dollar AS justru dibutuhkan untuk pembangunan di sana.

Beragam faktor itu pada akhirnya menimbulkan pelemahan pada nilai tukar, khususnya di negara-negara berkembang. Meski begitu, Doddy memastikan kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih lebih baik dibanding negara berkembang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com