YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat ini banyak dibandingkan dengan yang krisis ekonomi 1998.
Lantas, bagaimana cara memastikan apakah dengan nilai tukar yang sama-sama hampir Rp 15.000 per dollar AS mencerminkan kondisi serupa dengan saat krisis yang lalu?
"Meski sama-sama di angka Rp15.000, present value-nya beda. Kalau masih ada orang yang mengira-ngira itu sama, saya bisa bilang bahwa itu salah," kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono dalam acara Kafe BCA On The Road di Yogyakarta, Sabtu (22/9/2018) malam.
Baca juga: Singgung Pelemahan Rupiah, SBY Bandingkan dengan Pemerintahannya Dulu
Tony menjelaskan, pada Oktober 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih Rp2.300. Tiga bulan berikutnya, nilai tukar rupiah melemah sangat dalam menjadi Rp15.000 pada Januari 1998.
Sementara, pelemahan rupiah saat ini, dari level Rp13.700 pada awal 2018 menjadi hampir Rp15.000 per bulan September.
Ada pun belakangan ini nilai tukar rupiah mulai stabil pada level Rp14.800 sampai Rp14.900.
"Dari situ kami paham, rupiah sama-sama Rp 15.000 tapi maknanya berbeda. Kemudian, indikator ekonomi yang lain itu sangat berbeda," kata Tony.
Baca juga: 5 Perusahaan Indonesia Ini Paling Rentan Terdampak Pelemahan Rupiah
Indikator lain yang dimaksud salah satunya tingkat inflasi.
Pada 1998, inflasi tercatat sebesar 78 persen dan saat ini inflasi jauh lebih rendah dan dalam tingkat yang terkendali, yaitu sebesar 3,2 persen.
Dalam hal pertumbuhan ekonomi juga sangat berbeda. Pada 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 13,7 persen dan sekarang data terakhir pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah ketahanan di sektor perbankan selaku jantung perekonomian Indonesia.
Tony mengungkapkan, hampir semua bank collapse saat krisis 1998.
Baca juga: Pemerintah Minta Masyarakat Tak Takut terhadap Pelemahan Rupiah
Dia menyontohkan, kala itu BCA bahkan sampai harus disuntik dana sebesar Rp60 triliun agar tetap bisa beroperasi.
"Apa yang terjadi sekarang? BCA tahun ini kira-kira labanya di atas Rp23 triliun. Pemerintah tahun 1998 harus nyuntik, rekapitalisasi perbankan kira-kira Rp650 triliun," ujar Tony.
Meski makna pelemahan rupiah Rp15.000 antara 1998 berbeda dengan saat ini, Tony tidak memungkiri masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, misalnya menutup defisit BPJS Kesehatan.
Tetapi, dari segala segi, ekonomi Indonesia kini jauh lebih tahan sehingga tidak akan sampai pada kondisi krisis seperti yang dikhawatirkan sebagian kalangan.