Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Metode Penghitungan Data Produksi Beras Tak Akurat Sejak 1997

Kompas.com - 24/10/2018, 13:14 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) bersama instansi terkait seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mengganti metodologi penghitungan data produksi beras.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, metode tersebut dianggap kurang akurat sehingga tak relevan diterapkan dalam kondisi saat ini.

Diketahui, metode penghitungan lama diterapkan sejak tahun 1980-an. Data produksi dihitung secara manual, mulai dari perkiraan luas baku sawah yang akan berpengaruh pada hasil penghitungan luas panen dan produksi padi.

Menurut Suhariyanto, sejak 1997, banyak pihak mempertanyakan akurasi metode tersebut.

"Penghitungan data produksi kurang tepat. Wapres (Jusuf Kalla) bilang itu kesalahan banyak pihak, termasuk BPS," ujar Suhariyanto di kantor BPS, Jakarta, Rabu (24/10/2018).

Suhariyanto mengatakan, ada sejumlah hal penting dalam menentukan metodologi apa yang dipakai untuk penelitian. Pertama, tentunya harus berdasarkan ukuran objektif, bukan subjektif. Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi terkini agar akurasi lebih tinggi. Hal penting selanjutnya adalah metode tersebut transparan sehingga terbuka bisa dicoba oleh siapa saja.

Namun, Suhariyanto menekankan bahwa bukan berarti hasil penghitungan menggunakan metode sebelumnya salah total. Hanya saja patokannya tidak relevan maka perlu dilakukan perbaikan.

"Sekarang bagaiaman kita punya data produksi yang lebih tepat sehingga kebijakan yang dirancang fokus dan tepat sasaran," kata Suhariyanto.

"Intinya sama, luas panen dan produktivitas yang diukur," lanjut dia.

Metodologi baru itu bernama Kerangka Sampel Area (KSA). Metode tersbeut dikembangkan oleh BPPT untuk mengukur luas panen. Dalam pengumpulan data, peneliti harus melakukan beberapa pemetaan, yakni peta rupa bumi, peta administrasi, peta lahan baku sawah, dan peta tutupan lahan.

Selanjutnya, dilakukan pembuatan kerangka sampel sawah, pembuatan grid, pembuatan model sampling, ekstraksi sampel segmen, dan overlay kerangka sampel sawah. Setelah itu baru dilakukan seleksi segmen berupa pemberian atribut, segmen terpilih, dan peta-peta lokasi segmen.

Pada tahapan akhir, koordinat segmen terpilih dikunci.

Dalam menyusun peta baku sawah, BPPT menggunakan teknologi citra satelit. Sementara untuk mengukur lahan tak menggunakan citra satelit, melainkan mengukur langsung ke lapangan.

"Petugas harus betul-betul datang ke sawah, memotret keadaan sawahnya seperti apa. Nanti akan di-convert oleh BPPT yang akan diestimasi jadi kerangka sampel area," kata Suhariyanto.

Dengan adanya metode baru itu, terjadi penyesuaian luas lahan baku sawah. Pada 2013, luas lahan baku sawah sebesar 1,7 juta hektar.

Sementara pada 2018, luas lahan menyusut jadi 7,1 juta hektar. Penyusutan terjadi akibat beberapa hal.

Ada sawah yang tetap aktif dari 2013 hingga saat ini, ada sawah yang dulu aktif sekarang tidak lagi, dan ada pula sawah yang dulunya tidak ada kemudian menjadi aktif ditanami padi hingga 2018.

Dengan adanya metode baru, diharapkan data yang diperoleh lebih akurat dan memudahkan pemerintah mengatur kebijakan.

"Sekarang bagaimana kita lebih maju dengan data lebih valid dan bagus. Untuk saat ini, ini yang terbagus metodologinya," ujar Suhariyanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com