Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS EKONOMI

Pengamat Disarankan Hati-hati Bicara soal Impor Beras

Kompas.com - 30/10/2018, 15:12 WIB
Haris Prahara,
Kurniasih Budi

Tim Redaksi

Ilustrasi sawahDok. Kementerian Pertanian Ilustrasi sawah
KOMPAS.com - Akademisi Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prima Gandhi menilai, saat ini sulit membedakan pengamat pertanian yang benar-benar murni memajukan pertanian dengan pengamat bersifat titipan dari pengusaha impor.

Kondisi itu disebutnya terlihat dari anjuran beberapa pengamat agar Indonesia mengimpor beras. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data resmi bahwa Indonesia surplus beras 2,85 juta ton pada 2018 ini.

"Kita mesti berpikir jernih menyikapi data BPS surplus 2,85 juta ton beras saat ini. Jangan gegabah para pengamat bilang stok tipis sehingga perlu impor,” kata Gandhi, seperti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (30/10/2018).

Baca juga: Sekjen Kementan: Soal Data Beras, Kami Dukung BPS

Dia menjelaskan, stok beras nasional tak hanya dari surplus 2,85 juta ton, tetapi juga dari Bulog sebesar 2,4 juta ton. Jumlah itu tentunya cukup aman hingga 10 bulan ke depan.

“Stok beras cukup, tidak perlu impor. Jangan sampai pengamat beri pernyataan karena ada pesanan dari pihak tertentu,” ucapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, kondisi cuaca saat ini membuka peluang terjadinya peningkatan produksi beras nasional.

“Kita coba cek Sumatera dan Kalimantan serta sebagian Jawa Barat sudah turun hujan artinya tanam padi tinggi dan Januari 2019 bisa panen,” ujar Gandhi.

Ilustrasi beras DOK. Humas Kementerian Pertanian RI Ilustrasi beras
Berdasarkan perkiraan BMKG, pada November 2018, hujan sudah mulai merata. Artinya, sebut Gandhi, musim tanam sangat luas dan panen raya akan dimulai akhir Januari hingga April 2019. “Dengan begitu, bakal ada penambahan stok beras lebih banyak lagi,” tambahnya.

Ada anomali

Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Mochammad Maksum Machfoedz mengatakan, terjadi anomali beras nasional.

Kondisi itu adalah produksi cenderung surplus dan besaran konsumsi rutin normal, namun di lapangan justru harga beras melonjak.

“Ini ada semacam tekanan politik yang dibuat agar impor beras dilakukan, ada yang memanfaatkan situasi. Jangan sampai negara kalah dengan para pemburu rente. Harus bisa ditangkap dan diberi sanksi,” tegasnya.

Baca juga: Usulkan Impor Beras, Ketua Perpadi Dinilai Kementan Aneh

Adapun Khudori, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) mengatakan, tingginya disparitas harga beras dapat memicu impor.

“Penyelundupan beras untuk memanfaatkan disparitas harga masih terjadi dan ditemukan kasusnya di Batam, namun volumenya kini tidak signifikan. Disparitas harga ini perlu dihilangkan untuk meminimalkan peluang penyalahgunaan pihak tertentu,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com