BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan SKK Migas

Jeli Mengelola Migas, Rakyat Bisa Sejahtera

Kompas.com - 07/12/2018, 17:43 WIB
Kurniasih Budi,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sumber daya alam berupa minyak dan gas (migas) masih menjadi primadona sebagai salah satu ladang pendapatan di sejumlah wilayah di Indonesia.

Sayangnya, tak semua daerah mampu mengelola penghasilan dari sektor migas tersebut secara optimal.

Ketika kekayaan migas di wilayahnya menipis, sejumlah daerah tak lagi punya andalan sumber pendapatan yang mampu menyejahterakan masyarakatnya. Padahal, migas merupakan sumber daya alam yang tak bisa diperbarui. Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur!

Namun demikian, ada juga pemerintah daerah yang jeli melihat peluang pengelolaan migas secara efektif. Salah satunya adalah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bojonegoro, per 2016, pertumbuhan ekonomi Bojonegoro merupakan yang tertinggi di Jawa Timur. Sementara, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bojonegoro tanpa sektor migas menempati rangking dua setelah Kota Surabaya.

BPS mencatat, angka pertumbuhan ekonomi di daerah itu pada 2016 mencapai 21,95 persen, atau meningkat dibandingkan 2015 yakni 19,87 persen dan 2014 yang hanya sebesar 17,51 persen.

Masih mengacu data BPS Kabupaten Bojonegoro, pertumbuhan ekonomi tersebut bisa dicapai karena 20 persen kebutuhan energi (migas) nasional berasal dari Kabupaten Bojonegoro. Di samping itu, 15 persen pasokan kebutuhan pangan nasional juga berasal dari Bojonegoro.

Ditambah lagi, saat ini iklim usaha di kabupaten itu cukup kondusif. Buktinya, pada 2016, terjadi pertumbuhan usaha sebesar 5,8 persen pada 2016 dibandingkan 2006.

Padahal, daerah itu pernah menyandang kabupaten termiskin di Jawa Timur pada 2000 dan naik ke peringkat tiga termiskin se-Jawa Timur pada 2006 lalu. Bahkan, sejarawan Australia C.L.M. Penders dalam buku Curse To Blessing mencatat Bojonegoro sebagai endemic poverty atau pusat kemiskinan pada masa kolonial Belanda.

Aktivitas pekerja di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa TimurDok SKK Migas Aktivitas pekerja di Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur
Tak bisa dipungkiri, Bojonegoro berhasil keluar dari 10 besar kabupaten termiskin di Jawa Timur pada 2016 karena berbagai strategi dan kebijakan pemerintah daerah yang tepat.

Bojonegoro memang memiliki keistimewaan yakni memiliki cadangan energi yang berpengaruh pada pendapatan daerah. Tercatat sekitar 20 persen kebutuhan migas nasional atau mencapai 200.000 barel per hari (bph) berasal dari Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, Bojonegoro.

Demi mendukung kelancaran produksi migas, pemerintah daerah juga menerapkan peraturan daerah (Perda) Konten Lokal. Adapun perda tersebut merupakan instrumen untuk menekan gejolak sosial masyarakat.

Kelihaian pemerintah daerah setempat mengelola dana bagi hasil (DBH) migas memang terbukti dengan capaian pertumbuhan ekonomi tersebut.

Dampak pengelolaan hulu migas

Industri hulu migas di nusantara memberi dampak nyata pada ekonomi masyarakat daerah penghasil migas. Salah satu manfaat yang bisa diterima masyarakat adalah Dana Bagi Hasil (DBH) antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil migas.

Besaran pembagian DBH sendiri diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Selain DBH Migas, aktivitas di industri hulu migas memberikan pula efek berganda atau multiplier effect pada berbagai bidang.

Berdasarkan kajian SKK Migas bersama Universitas Indonesia pada 2015, setiap investasi 1 juta dollar AS pada sektor hulu migas dapat menciptakan nilai tambah 1,6 juta dollar AS, meningkatkan pendapatan domestik bruto (PDB) 0,7 juta dollar AS dan membuka lapangan kerja baru sebanyak 100 orang.

Industri hulu migas di Bojonegoro, Jawa TimurDok. Humas SKK Migas Industri hulu migas di Bojonegoro, Jawa Timur

Multiplier effect lainnya dari investasi tersebut yakni terdongkraknya industri dalam negeri, utamanya terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN).

Dalam Pedoman Tata Kerja (PTK) yang mengatur pengelolaan rantai suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di hulu migas, SKK Migas mewajibkan KKKS melibatkan perusahaan dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa.

Oleh karenanya, selama beberapa tahun terakhir, tren penggunaan TKDN di sektor itu terus meningkat dari 55 persen pada 2016 menjadi 58 persen pada 2017. Lalu, meningkat lagi menjadi 64 persen pada semester pertama 2018.

Sebenarnya, masih banyak dampak berganda lain dari industri hulu migas. Untuk membahas itu semua, Kompas.com merangkupnya dalam sajian Visual Interaktif Premium (VIP) berjudul “Tuah Industri Hulu Migas Pasca Masa Jaya.”

 


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com