Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Infrastuktur dan Utang

Kompas.com - 11/12/2018, 09:39 WIB
Yoga Sukmana,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembangunan infrastuktur besar-besaran menjadi program prioritas pemerintah di era kepemimpinan Presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Meliputi infrastuktur konektivitas, pendukung ketahanan pangan, hingga telekomunikasi.

Misalnya saja jalan sepanjang 3.432 kilometer, jalur kereta api, termasuk jalur ganda dan reaktivasi sepanjang 754.59 km, 10 bandar udara baru, 19 pelabuhan baru, hingga 43 bendungan masuk dalam katalis pembangunan infrastuktur 4 tahun terakhir.

Namun belakangan, program pembangunan infrastuktur tersebut mendapatkan kritik. Penarikan utang besar-besaran selama pemerintahan Jokowi ditengarai untuk membiayai pembangunan infrastuktur yang masif.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kementerian Keuangan, utang pemerintah per September 2018 sebesar Rp 4.516 triliun, naik Rp 1.815 triliun dari posisi utang per September 2014.

Baca juga: Di Hadapan Pejabat Daerah, Sri Mulyani Bicara "Matinya Nurani"

Sementara itu dari Januari hingga Oktober 2018, utang pemerintah sudah mencapai Rp 333,7 triliun, lebih rendah 19,5 persen dibandingkan realisasi Januari-Oktober 2017 yang sebesar Rp 414,7 triliun.

Dalam akun twitter pribadinya, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto menulis pentingnya pembangunan infrastruktur tanpa utang. Beberapa kali, Prabowo juga kerap mengkritik kebijakan pemerintah yang banyak menarik utang.

"Negara yang bisa memiliki pembangunan infrastruktur demi menunjang ekonomi di desa-desa tanpa bergantung oleh utang luar negeri. Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin hasil produksi kita akan meningkat," tulis dia.

Saat berkunjung ke Pesangrahan, Jakarta, cawapres Prabowo, Sandiaga Uni menyatakan berencana melanjutkan pembangunan infrastruktur tanpa membebani utang dengan menggaet pihak swasta bisa ia dan Prabowo terpilih nanti.

Baca juga: Ini 10 BUMN dengan Utang Terbesar, Ada yang Tembus Rp 1.000 Triliun

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku menghargai pernyataan Prabowo-Sandiaga. Menurut dia, itu tanda Prabowo juga ingin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan yang sehat dimana utang semakin kecil.

Meski begitu kata dia, Presiden Jokowi juga memiliki komitmen yang sama. Bahkan ucapnya, porsi penarikan utang pada 2018 sudah dikurangi dari tahun-tahun sebelumnya.

Soal pembangunan, tak melulu soal utang. Lemerintah kata Sri Mulyani memiliki berbagai mekanisme. Mulai dari pendanaan dari APBN, APBD, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), hingga yang teranyar yakni Pembiayaan Investasi Non Anggaran Pemerintah (PINA).

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut, pembangunan dengan 4 mekanisme tersebut merupakan equity financing. Artinya anggarannya tidak menggunakan utang (debt financing).

Pemerintah juga membuka mekanisme untuk melakukan sekuritisasi proyek infrastuktur. Dengan mekanisme ini maka BUMN bahkan Pemda yang memiliki infrastruktur bisa di sekuritisasi melalui pasar modal.

Manfaatnya, BUMN mendapatkan dana segar hasil sekuritisasi yang bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastuktur lainnya tanpa harus berutang.

"Mekanisme seperti itu sekarang kan terus kami sempurnakan. Jadi siapapun nanti (yang terpilih di Pilpres 2019), bisa menggunakan mekanisme itu. Itu bukan sesuatu yang sama sekali berbeda, tetapi telah dilakukan (saat ini)," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Lingkaran Setan Pinjaman Online: Pakai 40 Aplikasi untuk Tutup Utang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com