KOMPAS.com - Perkembangan financial technology (fintech) di Indonesia terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Sambutan hangat masyarakat menjadi faktor utama yang memupuk berkembangnya fintech.
Dari sisi manfaat, kehadiran fintech mampu mengisi ruang kosong yang ditinggalkan oleh perbankan. Pemberian pinjaman dana bisa didapatkan dengan cepat. Hal yang sulit didapatkan dari perbankan.
Perkembangan itu pula membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bergerak cepat membuat aturan main. Fintech yang bermunculan harus mendapatkan izin dan tunduk kepada ketentuan OJK.
Namun seiring perkembangan itu, sejumlah pihak mengambil momentum untuk untung banyak. Sejumlah fintech tanpa izin (ilegal) bermunculan dan bisa dengan mudah diakses masyarakat.
Baca juga: Tahun Depan, Top-Up Dana di Fintech Harus Punya Rekening Bank
Bahkan aplikasinya pun muncul dengan santai di penyedia aplikasi semula Play Store.
Laporan
Laporan itu muncul atas dugaan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap peminjam. Mulai bunga tinggi, penyalahgunaan data smartphone, hingga penagihan yang dilakukan cara-cara intimidasi.
Pengacara publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan, aplikasi fintech yang dilaporkan didominasi fintech ilegal. Dari dari 89 aplikasi fintech yang dilaporkan, 64 diantaranya tercatat fintech yang tak memilki izin dari OJK.
Adapun sebanyak 25 aplikasi yang terdaftar di OJK dan diduga melanggar adalah DR, RP, PY, TK, KP, DC, DI, RC, PG, UM, EC, CW, KV, DB, CC, UT, PD, PG, DK, FM, ID, MC, RO, PD, dan KC.
Baca juga: Asosiasi Fintech Janji Bantu Cari Solusi Korban Pinjaman Online, Asal...
Dari laporan itu, banyak juga korban yang sudah mengadu ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun kata Jeanny, belum ada tindak lanjut dari OJK
"Apa yang disampaikan oleh teman-teman korban juga sudah disampaikan kepada OJK," ujarnya.
LBH Jakarta berharap agar OJK bisa mengambil tindakan tegas kepada para fintech nakal agar tak ada lagi korban masyarakat.
Langkah