Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS EKONOMI

Inalum: Divestasi Freeport Tidak Sama dengan Membeli Tanah Sendiri

Kompas.com - 23/12/2018, 20:29 WIB
Mico Desrianto,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Keberhasilan pemerintah menjadi pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) lewat PT Inalum (Persero) memicu perdebatan baru.

Uang sebesar 3.85 miliar dollar AS atau Rp 55 triliun yang dikeluarkan pemerintah demi memiliki saham 51 persen PTFI dianggap sebagai tindakan yang sia-sia karena membeli tanah sendiri.

Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum, Rendi A Witular, buka suara terkait kabar yang beredar tersebut.

“Kami menyayangkan adanya beberapa pengamat yang tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya tetapi berani membuat analisa yang menyesatkan publik seolah-olah kami membeli tanah air sendiri,” ujar Rendi A Witular sesuai dengan informasi yang Kompas.com terima, Minggu (23/12/2018).

Untuk diketahui, Inalum pada Jumat (21/12/2018) meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen sekaligus berhak menjadi pengendali perusahaan pengelola kekayaan emas, perunggu, dan perak di Papua tersebut sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041.

Memahami kontrak karya pemerintah dengan PTFI

PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 (Era Soeharto) lalu diperbarui pada 1991 dengan masa operasi hingga 2021.

Terkait dengan masa operasi tersebut, Perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.

Dalam pengertian FCX, benar KK akan berakhir pada 2021, namun mereka memiliki hak untuk mengajukan perpanjangan 20 tahun lagi yang artinya PTFI akan bertahan hingga 2041.

Ruang gerak pemerintah untuk menahan atau menunda perpanjangan PTFI hingga 2041 juga dipersempit. Namun jika bersikeras, pemerintah bisa menyelesaikan persoalan lewat pengadilan internasional (arbitrase).

Hitung-hitungan jika seandainya mengambil jalur arbitrase

Mengambil jalur arbitrase rupanya tak luput dari masalah meski pemerintah menang dalam pengadilan. Mengingat operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan, dampaknya justru akan sangat luas.

Seperti contoh, mengingat tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia, ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi.

Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terganggu karena sekitar 90 persen masyarakat sangat bergantung dari kegiatan PTFI. Itu pun jika pemerintah Indonesia menang, lalu bagaimana seandainya kalah dalam pengadilan arbitrase? Dampaknya bisa jauh lebih pelik lagi.

Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi mengingat sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun. Suramnya lagi, di KK tersebut pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.

Terkait KK, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan wajar saja jika PTFI mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51 persen kepada  Indonesia, mengingat sistem KK yang sifatnya sah di mata hukum.

“Meski bisa dihadapi tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” tutur Mahfud.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Gapki Tagih Janji Prabowo Bentuk Badan Sawit

Whats New
Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Pameran Franchise dan Lisensi Bakal Digelar di Jakarta, Cek Tanggalnya

Smartpreneur
Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Akvindo Tegaskan Tembakau Alternatif Bukan buat Generasi Muda

Whats New
Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Allianz Syariah Bidik Target Pengumpulan Kontribusi Capai 14 Persen Sepanjang 2024

Whats New
Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Laba Bersih Astra International Rp 7,46 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Bank Mandiri Raup Laba Bersih Rp 12,7 Triliun pada Kuartal I-2024

Bank Mandiri Raup Laba Bersih Rp 12,7 Triliun pada Kuartal I-2024

Whats New
Gelar RUPST, Astra Tetapkan Direksi dan Komisaris Baru

Gelar RUPST, Astra Tetapkan Direksi dan Komisaris Baru

Whats New
Emiten Sawit BWPT Catat Pertumbuhan Laba Bersih 364 Persen pada Kuartal I-2024

Emiten Sawit BWPT Catat Pertumbuhan Laba Bersih 364 Persen pada Kuartal I-2024

Whats New
Ekonom: Investasi Apple dan Microsoft Bisa Jadi Peluang RI Tingkatkan Partisipasi di Rantai Pasok Global

Ekonom: Investasi Apple dan Microsoft Bisa Jadi Peluang RI Tingkatkan Partisipasi di Rantai Pasok Global

Whats New
Kemenko Perekonomian Buka Lowongan Kerja hingga 2 Mei 2024, Simak Kualifikasinya

Kemenko Perekonomian Buka Lowongan Kerja hingga 2 Mei 2024, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Gapki: Ekspor Minyak Sawit Turun 26,48 Persen Per Februari 2024

Gapki: Ekspor Minyak Sawit Turun 26,48 Persen Per Februari 2024

Whats New
MPMX Cetak Pendapatan Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024, Ini Penopangnya

MPMX Cetak Pendapatan Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024, Ini Penopangnya

Whats New
Allianz Syariah: Premi Mahal Bakal Buat Penetrasi Asuransi Stagnan

Allianz Syariah: Premi Mahal Bakal Buat Penetrasi Asuransi Stagnan

Whats New
Holding Ultra Mikro Pastikan Tak Menaikkan Bunga Kredit

Holding Ultra Mikro Pastikan Tak Menaikkan Bunga Kredit

Whats New
Menteri Teten: Warung Madura di Semua Daerah Boleh Buka 24 Jam

Menteri Teten: Warung Madura di Semua Daerah Boleh Buka 24 Jam

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com