Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahendra K Datu
Pekerja corporate research

Pekerja corporate research. Aktivitas penelitiannya mencakup Asia Tenggara. Sejak kembali ke tanah air pada 2003 setelah 10 tahun meninggalkan Indonesia, Mahendra mulai menekuni training korporat untuk bidang Sales, Marketing, Communication, Strategic Management, Competititve Inteligent, dan Negotiation, serta Personal Development.

Futurism #5: Happening, Kutahu yang Mereka Mau

Kompas.com - 28/12/2018, 13:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

YANG dibutuhkan bukan keajaiban ilmu sihir, atau teknologi roket ruang angkasa. Mereka hanya ingin happening.
 
Happening? Happening  apaan?
 
Sudah sejak tahun 2003 saya tinggal di Jakarta meski pindah-pindah. Anggap saja saya warga Jabodetabek.

Saya ingat sekali tahun-tahun itu dan kira-kira sampai tahun 2010-an, mal-mal bertumbuh sangat pesat, sepesat pertumbuhan apartemen. Di mana ada mal, di situ ada apartemen atau perkantoran.

Di mana ada apartemen dan perkantoran, di lobinya ada satu atau dua coffee shop. Dan karena hiruk-pikuknya mal, apartemen serta perkantoran, jualan apa saja terasa mudah. Paman angkat saya bilang, tutup mata saja sudah cuan.
 
Di tahun-tahun itu mal-mal disesaki tenant dengan segala jenis bisnis, bahkan ada yang hanya buka gerai lepas seperti pondok-pondok untuk jualan gadget atau aksesorisnya. Cuan puluhan juta tiap bulan.

Baca juga: Futurism #4: The Magnificent Seven dan Hadirnya Era Freelancer

Gerai-gerai retail yang disesaki masyarakat menengah ke bawah pun penuh, nyaris tak ada yang kosong. Di lorong-lorongnya banyak lapak-lapak lepas jualan macam-macam. Sebuah pemandangan yang pas untuk dibilang Indonesia lagi booming.

Tiga tahun terakhir ini pemandangannya berbeda. Sebagian gedung perkantoran, terutama di tempat-tempat yang biasa kena macet mulai ditinggalkan tenant-nya. Parkiran tak lagi penuh sesak.

Beberapa perkantoran bahkan tak ada lagi coffee shop-nya, sebagian mal-mal mulai tak lagi menarik bagi tenant-tenant yang bergantung pada masifnya jumlah massa pengunjung.

Lagi-lagi parkiran sepi. Perusahaan jasa secure-parking dan vallet satu per satu kabur dari mal-mal tersebut.
 
Ke mana perginya puluhan bahkan ratusan coffee shop itu? Lapak-lapak lepas di mal, pada ke mana mereka?
 
Mari kita kunjungi Times Square di jantung Manhattan, New York. Tak ada yang terlalu istimewa dari tempat itu.

Mungkin hanya faktor sejarah, atau film-film Hollywood yang telah membuatnya menjadi legenda. Selain itu, hanya gedung-gedung tinggi yang dindingnya dipenuhi puluhan videotron dengan iklan-iklan menarik.

Di sekitarnya ada yang jualan hotdogs, kebab, beberapa resto cepat saji. Sayang tak ada yang jualan jagung bakar atau nasi kucing.
 
Saya ingat dua tahun yang lalu saya susuri Times Square hingga pojok-pojoknya. Ada Madame Tussaud, ada beberapa teater Broadway musicals.

Antara tahun 1994 dan 1995 saya beberapa kali menonton musicals itu. Dulu suatu kemewahan, dan memang wah. Pertunjukan seperti Tommy, atau Phantom of the Opera….wah banget!

Baca juga: Futurism #3: Segala Hal tentang 4.0

Times Square bukan satu-satunya model untuk kita pelajari. Apa yang ada di Times Square, sudah direplikasi di Ginza Tokyo, atau Victoria Harbour di Hong Kong.

Tampaknya Shanghai, Dubai, atau Trafalgar Square di London serta Las Ramblas di Barcelona memiliki versi lain Times Square yang tak kalah menarik. Semua datang ke situ. Untuk belanjakah? Belum tentu? Lalu untuk apa?
 
Happening. Mereka datang untuk kongkow.
 
Wisatawan – dalam arti luas termasuk orang-orang yang pergi ke mal-mal – tak lagi berpikir soal belanja saja saat mereka pergi ke mal, atau ke suatu tempat.

Mereka hanya ingin melihat ‘something is going on’, sebuah happening, yang layak mereka datangi, lihat, nikmati dan mereka menjadi riang.

Belanja hanya soal waktu. Itu bonus. Itu hanyalah sebuah akibat. Bila mereka riang, mereka tak terlalu peduli pada seberapa dalam kantong yang harus mereka rogoh untuk itu.
 
Happening is the new addiction!
 
Manajemen mal yang cerdik tahu betul bahwa jumlah tenant yang banyak tak menjamin orang akan berduyun-duyun mendatangi mall mereka. Yang diperlukan bukan semata-mata itu.

Lihatlah, Times Square ya begitu-begitu saja. Tapi setiap sore hingga larut, ada saja yang orang lihat: street magicians, street acrobats, gemerlap videotron yang menayangkan produk baru, film baru, acara-acara di Madisson Square, Broadway, dll.
 
Masyarakat konsumen ingin melihat ada aktivitas apa saja yang mereka bisa datangi. Itu berlaku nyaris universal untuk mempolakan bagaimana preferensi konsumen saat ini sedang berevolusi. Mari kita cari kontekstualitasnya dalam industri lain.
 
Pokemon Go, misalnya, adalah sebuah game fenomenal karya bersama antara Niantic Labs dan Nintendo di bawah arahan John Hanke dan Tatsuo Namura, menjadi begitu populer dan disukai keluarga-keluarga karena melibatkan happening itu tadi.
 
Stereotype  game yang bikin anak-anak kecanduan, menjadi bodoh dan anti-sosial, diubah total melalui hadirnya Pokemon Go yang berbasis GPS dan teknologi Augmented Reality (AR).

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com