SAAT masih tinggal di keluarga angkat saya di Vancouver Island dalam sebuah program pertukaran mahasiswa, saya ingat betul keluarga ini mengoleksi buku teka-teki bergambar berjudul “Where is Waldo”.
Saya yakin sebagian besar pembaca tahu seperti apa teka-teki bergambar itu. Dalam satu buku bisa ada lebih dari 20 halaman gambar kerumuman orang-orang di pasar, di pantai, di stasiun kereta api, dan banyak tempat lainnya.
Ini teka-teki bergambar full color. Tugas kita hanya satu di setiap halaman: temukan orang bernama Waldo dengan ciri khas visual baju, topi, kacamata, dan postur yang sangat khas, intinya sosoknya mudah diingat.
Instruksinya jelas sekali: temukan di mana Waldo. Sejatinya, perlu waktu yang tak sebentar untuk menemukannya di kerumunan banyak orang yang bajunya juga sama warna-warninya dengan Waldo. Tegang, tapi seru sekali!
Buku bergambar ini sempat beredar di Indonesia, tapi sekarang sulit sekali dicari, bahkan buku bekasnya.
Baca juga: Korea dan Vietnam Garap Hotel “Artificial Intelligence
Sekarang menemukan Waldo tak sesulit dulu. Versi digitalnya pun sudah ada, dan sudah bisa dimasukkan dalam program machine learning (ML) di komputer.
Ciri khas visual Waldo disodorkan sebagai bahan baku pembelajaran bagi protokol ML, lalu setelah divalidasi bahwa ‘data tentang Waldo’ sudah masuk ke indera ML, maka biarkan protokol ML menemukan Waldo untuk anda. Voila! Tak sampai 10 detik!
Kecerdasan buatan yang memementahkan seluruh strategi.
Teknologi artificial intelligence (AI) untuk mengenali ciri visual dan audio sudah sedemikian canggih. Beberapa perkantoran di Silicon Valley sudah menerapkan pengenalan kontur wajah melalui CCTV untuk membedakan mana pegawai mana pengunjung.
Protokol keamanan di berbagai instansi kepolisian dunia pun sudah menerapkannya untuk mencari orang-orang yang masuk DPO (Daftar Pencarian Orang) dari berbagai kerumunan di tempat-tempat umum seperti bandara, stasiun kereta, pelabuhan, pusat perbelanjaan, pasar, dan tempat-tempat publik lainnya.
Cara kerjanya sangat sederhana, meski teknologinya rumit. Mesin AI akan diberi input (diajari) berbagai informasi mengenai sosok seseorang, dari foto dan video wajahnya yang terkumpul di jutaan situs internet termasuk media sosial, mencocokkan akun-akun medsos yang ia ikuti, mencari konsistensi data dan informasi antar akun, lalu dalam sekejap mesin AI akan merangkumnya menjadi sebuah file tentang orang itu (sebut saja ‘subject’).
Dalam perkembangannya, mesin AI ini tak hanya melakukan tugas ‘find the subject’, tetapi lebih daripada itu, ia melakukan tugas super rumit lainnya seperti mempelajari pola perilaku serta preferensinya di masa lalu, dengan siapa saja ia sering berinteraksi, kemana saja ia biasa bepergian, di hotel mana atau klub mana saja, berbelanja dengan kartu kredit yang mana, ataupun berapa lama ia berada di sana.
Mesin ini – cenayang digital ini – sedang meramalkan apa yang orang tersebut akan lakukan atau hadapi, atau situasi seperti apa di masa mendatang yang akan ia temui.
Dunia tanpa kejutan
Lalu, dunia seperti apa yang akan kita tinggali di masa depan bila apa yang akan kita lakukan sudah diketahui sebelumnya oleh sebuah ‘mesin’ yang mungkin dimiliki oleh ribuan pihak lain?