Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang P Jatmiko
Editor

Penikmat isu-isu ekonomi

Prostitusi "Online", Nurhadi-Aldo, dan Kuasa Platform

Kompas.com - 11/01/2019, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang teman. Dia adalah seorang milenial yang gemar menggunakan beragam aplikasi, termasuk kencan.

Ramai-ramai soal prostitusi online, saya mencoba minta komentar dia atas kasus tersebut. Dengan enteng dia menjawab, layanan prostitusi online sebenernya ketinggalan zaman. Kendati menggunakan istilah “online”, namun metodenya masih konvensional.

“Coba kalau pakai platform kencan. Mungkin tak ada uang yang keluar sampai Rp 80 juta. Bahkan mungkin juga tak akan ditangkap polisi, ha-ha-ha,” gelaknya.

Kebutuhan atas pemenuhan hasrat seksual adalah salah satu kebutuhan paling “primitif” manusia. Meski demikian, cara untuk memenuhinya terus berkembang mengikuti perkembangan teknologi.

Dalam sebuah laporan yang dimuat Daily Mail di awal 2017, ada cerita seorang pemilik rumah bordil di Brisbane, Australia.

Namanya madam Joan Leeds. Dia mulai memliki rumah bordil sejak 2006, dan hingga awal 2017 dia telah punya 4.000 pelanggan. Namun, sejak 2013, bisnisnya stagnan. Penyebabnya adalah masifnya kehadiran platform digital untuk kencan. Hal itu membuat para pelanggan perlahan-lahan meninggalkan rumah bordilnya.

Para pelanggan yang dulunya harus membayar untuk berkencan di rumah bordil, sekarang bisa mendapatkan layanan serupa secara gratis. Sepanjang, mereka bisa mendapatkan pasangan yang pas dan saling menyukai. Bahkan pilihannya jauh lebih banyak, dan tentunya lebih “customized”.

Sementara itu, pemilik rumah bordil lain di Queensland, Australia, terpaksa menghentikan bisnisnya. Pasalnya, kehadiran tamu yang semakin sedikit tidak bisa menutup biaya operasional. Sehingga untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar, menjual tempat usaha tersebut adalah opsi terbaik.

Kisah dua pemilik rumah bordil di Australia itu sangat mungkin dialami oleh pelaku usaha lainnya. Bahkan di Indonesia. Hal itu bukan lantaran daya beli turun. Atau stamina para pelanggan yang tak lagi “setrong” seperti sebelumnya. Namun, lebih karena pergeseran metode untuk mendapatkan kesenangan seiring dengan hadirnya platform digital.

Rumah bordil adalah segelintir sektor bisnis yang pada akhirnya kehilangan pasar. Industri tersebut lambat laun menyusul sektor-sektor lain yang telah kehilangan relevansi karena kehadiran platform kencan.

Perkembangan teknologi mendisrupsi metode-metode lama untuk pemenuhan hasrat tersebut.

Hilangnya Gatekeepers

Beranjak dari industri prostitusi, Parker, Van Alstyne, dan Choudary dalam buku Platform, How Networked Markets are Transforming The Economy and How to Make Them Work For You (2016) menulis bahwa platform digital berhasil menghantam bisnis konvensional karena mampu menghilangkan gatekeepers.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com