Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Edhy Prabowo
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra

Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR RI, Ketua Komisi IV DPR RI, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra

Kedaulatan Pangan, Nyata atau Mimpi?

Kompas.com - 16/01/2019, 21:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Indonesia adalah negeri kaya raya yang memiliki sumber daya alam melimpah. Segala produksi pangan tersedia melimpah di negeri ini. Indonesia ibarat surga dunia yang menyimpan banyak berkah.

Ironisnya, kekayaan yang tersimpan di bumi Indonesia tidak sesuai dengan apa yang dirasakan rakyatnya. Kemiskinan dan kelaparan masih menjadi cerita. Krisis pangan kerap menjadi berita. Ada yang salah dengan tata kelola pangan di Indonesia.

Sebagai negara kaya raya, Indonesia memiliki amanat undang-undang untuk mewujudkan kedaulatan pangan, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Kedaulatan pangan artinya, Indonesia mampu meningkatkan kemampuan produksi pangan melalui penyediaan sarana produksi pertanian, menyediakan pangan yang beraneka ragam, tentunya pangan yang aman, bermutu dan bergizi.

Mewujudkan tingkat kecukupan pangan terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau, mempermudah rakyat memperoleh kebutuhan pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas.

Selain itu, tujuan dari kedaulatan pangan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan yang bermutu dan aman, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan. Serta, melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.

Pemerintah boleh saja mengklaim selama ini telah bekerja keras mewujudkan swasembada pangan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Namun faktanya, hingga saat ini kedaulatan pangan masih jauh dari kenyataan.

Pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki. Misalnya saja tentang pengembangan ternak sapi perah. Padahal pengembangan usaha industri sapi perah di Indonesia mempunyai prospek strategis untuk pengembangan SDM. Namun ironisnya, 70 persen bahan baku industri sapi perah berasal dari Impor. Pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah, yang sebagian berasal dari peternakan sapi perah rakyat.

Paradoks kebijakan pangan

Selama tahun 2014 hingga saat ini, masih terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, beberapa kebijakan juga kerap tidak sejalan dengan amanah undang-undang sektor pertanian.

Paradoks antarkebijakan soal pangan yang sering bertabrakan tidak hanya melibatkan antara satu kementerian dengan kementerian lain, tetapi juga antara satu eselon dengan eselon lain dalam satu kementerian. Hingga menjelang akhir periode pemerintahan 2014-2019, setidaknya terdapat beberapa amanat Undang-undang yang belum terlaksana.

Pemerintah beberapa kali melakukan impor pangan, terutama beras. Hal ini bertolak belakang dengan penjelasan Kementerian Pertanian mengenai kondisi data beras yang terus mengalami peningkatan. Menurut Kementerian Pertanian, potensi produksi beras akan terus meningkat. Pada Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.

Atas penjelasan itulah Komisi IV DPR RI secara tegas menolak dilakukan impor beras. Pernyataan itu dituangkan dalam kesimpulan Rapat Dengar Pendapat pada 14 Januari 2018 antara Komisi IV DPR RI bersama Eselon I Kementerian Pertanian, Direktur Utama Perum BULOG, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company, Direktur Utama PT Sang Hyang Seri, Direktur Utama PT Pertani, dan Direktur Utama PT Berdikari.

Namun faktanya, data potensi produksi beras yang dimiliki Kementerian Pertanian diabaikan oleh kementerian lain yang tetap ngotot melakukan impor beras.

Bahkan tidak hanya beras, impor juga dilakukan terhadap komoditas jagung. Padahal di saat yang sama Kementerian Pertanian juga melakukan ekspor jagung. Artinya, impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait.

Tentu saja hal ini bertolak belakang dengan Undang-undang. Berdasarkan UU 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 36 Ayat 1 dijelaskan, “Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.”

Bahkan dalam Ayat 2 di pasal yang sama dijelaskan, “Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi,” dan di Ayat 3 tertuang “Kecukupan Produksi Pangan Pokok dalam negeri dan Cadangan Pangan Pemerintah ditetapkan oleh menteri atau lembaga pemerintah yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com