BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Inalum

Inalum Merugi Pasca Akuisisi PT Freeport Indonesia, Benarkah?

Kompas.com - 28/02/2019, 10:22 WIB
Alek Kurniawan,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

Ribuan pulau bergabung menjadi satu

Sebagai ratna mutu manikam,

Nusantara oh nusantara

Berlimpah limpah kekayaan Nusantara, tiada dua dimana jua

Nusantara oh Nusantara…

KOMPAS.com – Begitulah penggalan lagu Nusantara yang diciptakan dan dipopulerkan oleh band legendaris Indonesia, Koes Plus. Seperti lirik di atas, Nusantara yang juga sebutan dari Tanah Air Indonesia dikenal dengan kekayaannya yang melimpah ruah.

Bahkan, limpahan Indonesia tersebut diibaratkan sebagai ratna mutu manikam yang memiliki arti bermacam-macam permata.

Kekayaan Indonesia itu pun berasal dari aneka ragam sektor, mulai dari melimpahnya perairan Indonesia, banyaknya sumber energi baik fosil ataupun energi terbarukan, hingga sektor pertambangan.

Sektor yang terakhir disebut akhir-akhir ini sedang menjadi perbincangan hangat. Terutama mengenai akuisisi Indonesia lewat PT Inalum (Persero) atas perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI) sebanyak 51,2 persen.

Sebagai informasi, Inalum secara resmi mengakuisisi PTFI pada akhir 2018. Sejumlah pihak mempertanyakan manfaat dan pemasukan keuntungan yang Inalum peroleh pada 2021 mendatang saat PFTI membagikan dividennya.

Mengenai hal itu, Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum Rendi Witular menjelaskan, memang mulai 2019 sampai 2023 akan ada proses peralihan dari pertambangan terbuka ke pertambangan bawah tanah dalam operasional PTFI.

Hal tersebut membuat operasional diperkirakan tidak dalam kondisi normal yang berimbas pada produksi yang menurun.

Akan tetapi, PTFI yang mengelola tambang dengan deposit emas terbesar di dunia itu akan mendapatkan laba bersih pada 2023-2041 senilai lebih dari 2 miliar dollar AS per tahun setelah tambang bawah tanah beroperasi dengan normal.

“Karena Inalum memiliki persentase saham 51,2 persen, maka pada rentang waktu tersebut Inalum akan mendapatkan laba bersih sedikitnya 18 miliar dolar AS,” ujar Rendi kepada Kompas.com pada Jumat (22/2/2019).

Aktivitas tambang terbuka Grasberg, PT Freeport Indonesia di Papua, Sabtu (12/5/2012). Tambang terbuka Grasberg (kawasan puncak) yang menjadi andalan selama ini akan ditutup pada 2016, potensi yang mulai ditambang dari deposito bawah tanah masih akan berproduksi hingga 2041. Tahun 2041 adalah masa berakhirnya seluruh kontrak (dan masa perpanjangan) Freeport di kawasan ini.
KOMPAS/AGUS SUSANTO Aktivitas tambang terbuka Grasberg, PT Freeport Indonesia di Papua, Sabtu (12/5/2012). Tambang terbuka Grasberg (kawasan puncak) yang menjadi andalan selama ini akan ditutup pada 2016, potensi yang mulai ditambang dari deposito bawah tanah masih akan berproduksi hingga 2041. Tahun 2041 adalah masa berakhirnya seluruh kontrak (dan masa perpanjangan) Freeport di kawasan ini.

Sementara itu, Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman yang juga sebagai penulis buku Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara menjelaskan, hendaknya divestasi Freeport tidak dilihat dari kacamata politik. Hal ini karena langkah Inalum tersebut didasari sepenuhnya pada hitungan untung rugi.

“Inalum mengeluarkan biaya 3,85 miliar dollar AS untuk mendapatkan potensi laba bersih 18 miliar dollar AS dan kontrol manajemen. Lalu, apanya yang dirugikan dari langkah korporasi tersebut?” kata Ferdy melalui rilis tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (27/2/2019).

Ferdy menambahkan, keputusan pemerintahan yang memberikan ruang sangat besar untuk Inalum pun dinilai sangat penting bagi masa depan pertambangan kita. 

“Indonesia memiliki cadangan mineral berlimpah berupa emas, tembaga, nikel, dan batubara. Namun, yang mengontrol pasar nikel, bauksit, tembaga, dan batubara justru bukan perusahaan BUMN, melainkan perusahaan-perusahaan asing dan grup lokal besar,” katanya.

Pengamat Kebijakan Publik Thomas Jan Bernadus dari Koalisi Pejuang Hak Atas Sumber Daya Alam pun mengutarakan pendapatnya tentang tudingan kepada Inalum akan merugi karena terbebani dengan masalah investasi dan perbaikan lingkungan PTFI.

“Kalau diprediksi merugi, mana mungkin investor asing mau memberikan pendanaan 4 miliar dollar AS ke Inalum untuk akusisi PTFI tanpa jaminan aset serta saham Inalum dan anak usaha lainnya. Kalau lembaga finansial ternama dunia saja percaya akan kemampuan Inalum, kenapa orang Indonesia sendiri yang tidak percaya?” tutur Thomas juga melalui rilis tertulis Inalum yang Kompas.com terima, Rabu.

Sebagai informasi, investor tersebut di antaranya adalah BNP Paribas dari Perancis, Citigroup dari Amerika Serikat, dan MUFG dari Jepang yang menjadi koordinator underwriter dalam penerbitan obligasi untuk pendanaan.

Selain itu, ada pula CIMB dan Maybank dari Malaysia, SMBC Nikko dari Jepang, serta  Standard Chartered Bank dari Inggris sebagai mitra underwriter.

Aktivitas PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg Papua, IndonesiaDok. Humas PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau INALUM Aktivitas PT Freeport Indonesia (PTFI) di tambang Grasberg Papua, Indonesia

Kontrol manajemen

Sejak akuisisi PTFI sebanyak 51,2 persen, Indonesia tak hanya akan mendapat   kan keuntungan finansial.

Lebih jauhnya, Indonesia juga memiliki kontrol manajemen yang meliputi pengaruh signifikan dalam penentuan dividen, anggaran dasar, direksi, serta komisaris.

Rampungnya akusisi PTFI juga berdampak pada berubahnya operasional PTFI dari Kontrak Karya (KK) menjadi berdasarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Sewaktu beroperasi melalui KK, kedudukan PTFI setara dengan Pemerintah Indonesia dan bahkan KK berlaku layaknya sebuah undang-undang. Dengan beralihnya KK menjadi IUPK, maka status PTFI saat ini berada di bawah pemerintah," jelas Thomas.

Dengan begitu, melalui akuisisi ini Indonesia justru diuntungkan karena selain akan mendapatkan keuntungan finansial, Indonesia juga memiliki pengaruh yang siginifikan atas PTFI.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com