Kerugian maskapai tersebut naik 343,33 persen dibandingkan semester I tahun 2016 sebesar 63,59 juta dollar AS atau Rp 826,6 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala N Mansury mengatakan, kerugian tersebut salah satunya disebabkan biaya bahan bakar avtur yang membengkak pada semester I sebesar 571,1 juta dollar AS atau Rp 74,24 triliun.
"Kalau dilihat dari profit, semester I belum menguntungkan. Kendala Kami masih biaya fuel (bahan bakar). Untuk semester I naiknya 36,5 persen dibandingkan tahun lalu," ujar Pahala saat konferensi pers di Kantor Garuda Indonesia Pusat, Tangerang, Kamis (27/8/2017).
Mantan Direktur Keuangan Bank Mandiri ini menuturkan, kerugian tersebut juga disumbangkan dari pembayaran amnesti pajak sebesar 137 juta dollar AS atau Rp 1,78 triliun.
(Baca: Garuda Indonesia Butuh Waktu 1 Tahun agar Keuangannya Stabil)
"Selain itu Kami juga membayar denda ke pengadilan Australia sebesar 8 juta dollar AS atau Rp 104 miliar. Itu karena kasus persaingan tidak sehat kargo pada tahun 2012," jelas dia.
Meski demikian, ungkap Pahala, perseroan mencatatkan pendapatan operasi pada semester I tahun 2017 sebesar 1,9 miliar dollar AS atau Rp 24,7 triliun. Nilai tersebut naik 7 persen dibandingkan tahun lalu.
"Tingkat keterisian penumpang pada semester I juga naik tercatat 73,3 persen dibandingkan tahun lalu sebesar 70,8 persen," tambah dia.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/27/205144426/semester-i-2017-garuda-merugi-rp-3-66-triliun