Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Daya Beli Terpuruk, Tetapi Jalan Semakin Macet

Seperti pengusaha ritel dan properti lainnya, ternyata Perry mengkonfirmasi lesunya pasar. “Sulit,” ujarnya. “Tahun lalu saja sudah susah, tahun ini lebih susah lagi. Dan tahun depan saya yakin akan semakin susah …". Tapi ujungnya Perry mengatakan,  "semakin susah bagi kita tak mau berubah!”

Perry yang dikenal sebagai salah satu raja FO (Factory Outlet), tahu persis pendapatan dari penjualannya di beragam FO di Bandung semakin hari semakin turun. Tetapi, bedanya dengan pengusaha lainnya, ia tak mau menuding masalahnya ada di daya beli.

“Sudahlah,” ujarnya lagi di Rumah Perubahan. “Masalahnya bukan di daya beli, tetapi gaya hidup masyarakat yang terus berubah. Cepat sekali,” tambahnya.

Lawan-lawan tak kelihatan

Tentu saja untuk melakukan validasi ucapan Perry, kita membutuhkan science. Dan science membutuhkan data. Ilmu yang saya kuasai sesungguhnya bisa melakukannya.

Hanya masalahnya, lembaga-lembaga yang ditugaskan mengumpulkan data terperangkap dalam sektor-sektor yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan sektor-sektor itu semuanya adalah konvensional.

Taksi konvensional, properti konvensional, ritel konvensional, keuangan dan pembayaran konvensional, penginapan (hotel) konvensional, otomotif yang dirajai pemain-pemain lama, media dan periklanan konvensional dan seterusnya. Hampir tak ada yang menunjukkan data substitusi atau prospek dari disruptornya. Ini tentu bisa menyesatkan.

Sampai kapanpun, kalau data-data yang dikumpulkan tetap seperti itu, maka kita akan semakin cemas, sebab faktanya dunia konvensional cepat atau lambat akan ditinggalkan konsumen baru, khususnya generasi millennials yang sekarang usianya sudah mendekati 40 tahun.

Generasi millennials itu mempunya cara pandang yang benar-benar berbeda dengan para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi market leader. Uang (daya beli) mereka memang belum sebesar generasi di atasnya yang lebih mapan, tetapi mereka bisa mendapatkan barang-barang dan jasa-jasa yang jauh lebih murah di jalur non-konvensional karena dunia ekonomi yang tengah peristiwa disruptif yang luar biasa.

Di dunia baru itu mereka dimanjakan pelaku usaha baru yang telah berhasil meremajakan business process-nya. Mereka bukan pakai marketing konvensional (4P) melainkan business model. Dan lawan-lawan tangguh pemain-pemain lama itu kini hadir tak kasat mata, tak kelihatan.

Ibarat taksi yang tak ada merknya di pintu, tanpa tulisan “taksi”, dan penumpang turun tak terlihat tengah membayar. Sama sekali berada di luar orbit incumbent, pengumpul data dari BPS dan lembaga-lembaga survei lainnya, ekonom, bahkan oleh para wartawan sekaligus.

Kita hanya disajikan angka-angka penurunan yang sudah diramalkan oleh penemu teori Disruption, Christensen (1997), bahwa data-data itu sungguh tak valid. Pernyataan Christensen itu bisa Anda buka di situs YouTube dalam suatu wawancara di kampus MIT.

Di situ Christensen menjelaskan pertemuannya dengan founder Intel, Andy Groove yang sempat meninggalkannya setelah sekitar 5 menit mengundang Christensen. Namun seminggu kemudian Andy menyesali perbuatannya dan kembali mengundang penemu teori Disruption itu. Apa alasannya?

“Saya akhirnya menyadari ucapan Anda bahwa pemain-pemain lama seperti Intel ini bisa terdisrupsi oleh pendatang-pendatang baru yang masih kecil-kecil karena mereka membuat produk yang simpel yang jauh lebih murah,” ujar Andy Groove seperti ditirukan Christensen.

“Look,” ujarnya lagi. “Saya membutuhkan data, tetapi dalam era disruption data yang ada sudah tidak bisa dipakai lagi karena data yang kami kumpulkan adalah data-data kemarin yang hanya cocok untuk melakukan pembenaran. Sedangkan kami butuh data untuk melihat apa yang tengah  dan yang akan terjadi besok. Jadi yang saya butuhkan; kalau belum ada datanya adalah teori. Dan teori Anda menjelaskan proses shifting itu.”

Intel selamat berkat disruptive mindset-nya. Dan sekarang kita saksikan hal itu tengah terjadi secara besar-besaran dalam landscape ekonomi Indonesia. Semua orang bingung.

Tabloid Kontan menyajikan judul menarik, “Gejala Anomali Ekonomi Indonesia” sembari menunjukkan data-data penurunan pertumbuhan penjualan beragam sektor. Sayangnya kita hanya membaca sektor-sektor yang, maaf, konvensional.

Kita tak cermat membaca ketika penjualan sepeda motor turun sebesar 13,1 persen dan semen turun1 persen untuk semester 1 tahun ini (dibanding periode yang sama tahun lalu). Kemana ia beralih?

Juga tak kita baca bahwa pendapatan PT Astra International naik 30 persen sepanjang semester I tahun ini.

Yang lain kita mendengarkan pandangan-pandangan yang saling bertentangan. Teman saya pengusaha keramik terbesar di negeri ini mati-matian menjelaskan daya beli saat ini sedang drop. Tetapi Perry Tristianto mengatakan, “Dulu saja, Jakarta-Bandung atau sebaliknya cukup 2 jam. Sekarang 5 – 7 jam. Sulit bagi saya untuk mengakui bahwa daya beli turun?”

Saya tambahkan lagi, selama mudik lebaran kemarin (dipantau sekitar 4 minggu), penumpang yang terbang dari 13 bandara di lingkungan AP 2 naik sekitar 11 persen. Lalu di Bandara Halim Perdanakusuma saja naiknya hingga 25 persen.

Blame and Confirmation trap

Kejadian-kejadian ini jelas disukai para eksekutif yang bisnis-bisnisnya mengalami kelesuan. Maaf, maksud saya, kita tiba-tiba seperti punya jawaban pembenaran. Semacam konfirmasi. “Tuh kan, emang bener, daya beli turun. Jadi wajar, kan?”

Pada saat saya tulis kolom ini pun banyak yang menunjukkan gejala serupa: mainan anak-anak juga turun signifikan. Sama dengan data dari asosiasi pengusaha angkutan truk.

Mengapa kita tak belajar dari pertarungan mainan anak-anak antara Hasbro (yang naik terus penjualanannya karena bertransformasi dari mainan monopoli ke mainan transformer yang kaya "experience" dan online games) dengan Mattel (yang dari masa ke masa hanya membuat boneka Barbie).

Para penjaja mainan juga luput memonitor beralihnya anak-anak ke permainan yg menantang seperti gym anak-anak, parkour dan mainan lain yang kaya engagement.

Namun alih-alih membaca weak signals, hari-hari ini komentar yang sering kita dengar justru lebih banyak menghibur diri untuk membenarkan turunnya pencapaian target.

Lantas pertanyaannya, “memangnya kalau kondisi kembali membaik menurut versi itu, katakanlah sekarang daya beli benar-benar turun (bukan shifting), nanti manakala benar-benar sudah kembali lagi, katakanlah setahun dari sekarang , dan daya beli membaik besar-besaran, lantas penjualan produk/jasa Anda benar-benar kembali naik?”

Come on, my brother. Itu benar-benar perangkap. A confirmation trap karena puluhan pelaku usaha di bidang yang konvensional semua membenarkannya. Dan Anda pun memiliki satu buah perangkap lagi: A blame trap. Ya, kita terlalu senang mencari, pertama-tama, siapa yang bisa kita blame, kita salahkan, bukan memecahkan masalah yang sebenarnya.

Realitas lain

Kebetulan sejak buku Disruption beredar akhir februari lalu, di Rumah Perubahan kami mulai mengkaji kejadian-kejadian yang berada di luar orbit konvensional.

Kami mendengarkan, mengecek kebenaran, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi dalam aneka usaha yang berkembang di luar orbit yang kasat mata itu.

Kami membuat semacam case study dan menyebarkannya kepada sejumlah eksekutif. Sebulan sekali mereka datang dan mengikuti kuliah saya, membahas kasus-kasus itu sehingga mereka bisa membedakan mana kasus tentang bisnis yang salah urus dan mana yang terimbas disruption. Kami membagi ke dalam dua kelompok.

Kelompok pertama, adalah para CEO dan pejabat-pejabat Eselon 1, komisaris perusahaan, para rektor dan pemimpin-pemimpin strategis. Kami membahas bagaimana mereformulasi strategi di era ini. Lalu kelompok kedua diikuti orang-orang marketing dan sales, para CMO (Chief Marketing Officer).

Dalam setiap pertemuan, kami menghadirkan CEO –CEO yang melakukan disruption dan yang terdampak oleh disruption. Dari situ kami mengetahui apa yang setidaknya terjadi atau bakal terjadi.

Kami jadi mengerti mengapa penjualan sepeda motor turun, sementara kendaraan yang lain justru tengah kebanjiran permintaan. Kami jadi mengerti mengapa Sevel ditutup, mengapa supermarket-supermarket besar kini kesulitan akibat perbaikan distribusi yang dilakukan produsen-produsen besar.

Kami jadi mengerti mengapa suasana perdagangan di Harco (Glodok), Mangga Dua dan bahkan Pasar Tanah Abang serta Electronic City yang dulu ramai kini mulai terganggu.

Kami juga mengecek sektor-sektor non-konvensional. Tidak terlalu sulit karena dua start up lahir dari tempat kami, yang satu situs pengumpulan dana (crowd funding) dan satu lagi situs peternakan yang semua saling terjalin kerjasama dengan start up-start up besar Nusantara lainnya dalam bidang fintech dan retail. Kami bisa lebih mudah mengintip data-data mereka.

Dari berbagai pertemuan dengan para CEO itu, saya juga mendapatkan data-data yang bertentangan dengan pandangan tentang memudarnya daya beli.

Minggu lalu saya juga sempat makan malam dengan CEO perusahaan tepung tererigu besar yang langsung mengecek data produksi dari ponselnya. Ia mencatat kenaikan permintaan yang masih terus berlanjut meskipun hari raya telah lewat. Bahkan hari raya Lebaran saja ia mengaku sebagian besar pegawainya tak bisa libur demi mengejar produksi.

Tetapi yang lebih menarik adalah membaca data-data perputaran uang dalam bisnis non-konvensional yang akhirnya tampak dalam bidang logistik.

Saya memilih perusahaan yang paling sering disebut situs-situs belanja online semisal JNE atau JNT. Sekali lagi dari JNE saya mendapatkan data pengiriman barang yang sangat signifikan.

Tetapi yang mengagetkan saya terutama adalah perubahan pola penyaluran barang dan sentra-sentra pengiriman. Harus kita akui, shifting yang tengah terjadi sangat berdampak pada semua pemain lama.

Tak banyak yang menyadari bahwa beras dan bahan-bahan pokok yang dibeli para pedagang dan konsumen di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi saja sudah berawal dari Tokopedia dan Bukalapak.

Barang-barang pangan itu juga bukan lagi diambil dari sentra-sentra konvensional yang selama ini kita kenal. Petanya telah berubah.

Saya juga membaca bahwa perbaikan di sektor perhubungan, khususnya tol laut, jalan tol, pelabuhan-pelabuhan dan bandara-bandara baru telah membuat rezeki beralih dari pedagang-pedagang besar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya ke berbagai daerah. Dari pengusaha-pengusaha besar ke ekonomi kerakyatan.

Saya ingin kembali ke rekan saya, Perry Tristianto, si raja FO yang tadi saya ceritakan. Karena penjualan FO sudah bukan zamannya lagi dan turun terus, ia pun telah mengalihkan usahanya dari ritel konvensional ke bidang wisata.

“Saya menemukan perbedaannya. Justru sekarang daya beli itu ada di segmen bawah. Mereka yang naik sepeda motor bersama keluarga mampu ke kawasan wisata, dipungut biaya, dan mengucapkan terima kasih. Sementara yang membawa mobil Mercedes komplain: mengapa harus bayar?"

Saya mengerti fenomena disruption ini masih sulit dipahami para incumbents yang telah bertahun-tahun menjadi "penguasa" dalam bisnisnya masing-masing. Namun hendaknya kita sadar bahwa banyak hal telah berubah dan kita telah tinggal dalam kubangan aneka perangkap, di antaranya adalah "the past (success) trap".

Saya tak mengatakan daya beli telah tumbut besar-besaran. Saya hanya mengatakan terlalu dini menuding penurunan pendapatan dan penjualan karena daya beli. Mungkin bukan itu masalahnya.

Mari kita ikuti terus fenomena disruption ini.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/29/120323026/daya-beli-terpuruk-tetapi-jalan-semakin-macet

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke