Ia menuturkan, perubahan dari belanja konvensional ke online hanya mencerminkan perubahan pola transaksi.
Menurut Suhariyanto, perubahan pola tersebut terjadi pada masyarakat kelas menengah ke atas. Akan tetapi, persentasenya pun tak besar, sehingga tak bisa menjadi gambaran penurunan daya beli.
"Perdagangan online pada dasarnya hanya perubahan transaksi. Jumlah barang yang dijual tetap sama, tidak akan mempengaruhi (penurunan daya beli)," kata Suhariyanto di Gedung DPR/MPR, Senin (14/8/2017).
(Baca: Faisal Basri: Daya Beli Masyarakat Tidak Melemah, Merosot atau Turun)
Ia menjelaskan, BPS turun menghitung data produksi dan pasokan ekspor dan impor. Dengan demikian, jika ada perubahan daya beli, jumlah produksi tetap terlihat, sehingga bukan merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya beli.
BPS pun telah melakukan survei kecil terhadap 10.500 rumah tangga. Hasilnya, sebanyak 15 persen rumah tangga memilih belanja online karena ada penetrasi produk tertentu.
"Ada kecenderungan untuk golongan menangah ke atas, semakin tinggi pendapatannya, maka (belanja) online-nya akan lebih banyak," jelas Suhariyanto.
Ia pun menuturkan, meski pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat, namun secara nominal mengalami peningkatan.
Pada kuartal I 2017, rata-rata konsumsi per kapita mencapai Rp 4,8 juta dan meningkat pada kuartal II 2017 menjadi Rp 5,07 juta.
"Kalau kita lihat pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang melambat, tapi nominalnya sendiri sebetulnya naik," ungkap Suhariyanto.
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/14/161500326/tren-belanja-online-tak-bisa-dikaitkan-dengan-penurunan-daya-beli