Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kambing Kurban Kulon Progo, Singapura, dan Ekonomi Kerakyatan

“Ini tahun keempat Muslim Singapura berkurban di Kulon Progo. Kesepakatannya sudah ditandatangani beberapa hari lalu,” ujar Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo, saat dihubungi melalui telepon, Rabu (30/8/2017).

Sejak 2013, lanjut Hasto, Kulon Progo menyediakan kambing kurban, menjualnya kepada Muslim Singapura. Kambing-kambing itu tetap ada di Kulon Progo, dipotong di Kulon Progo, dan dibagikan kepada masyarakat Kulon Progo, sebagai bagian dari ritual tahunan Kurban atau Idul Adha.

“Pahalanya saja yang dikirim balik ke Singapura,” ujar Hasto dalam kesempatan lain saat menjadi salah satu pembicara di forum pelatihan soal Pancasila, beberapa pekan lalu.

Dari angka ratusan ekor kambing kurban, imbuh Hasto, pada 2017 jumlah kambing kurban untuk Muslim Singapura itu sudah mencapai lebih dari 2.500 ekor. Per ekor, sebut dia, rata-rata berharga Rp 3 juta.

Dari penelusuran Kompas.com, kambing kurban seharga itu sudah masuk kategori yang ginuk-ginuk. Di Kabupaten Bogor saja, sebagai contoh, kambing kurban kelas super seberat 31-35 kilogram ditawarkan hanya seharga Rp 2 juta.

Bela beli Kulon Progo

Program kambing kurban Kulon Progo yang sudah melintasi batas negara ini merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Hasto dan jajarannya.

Bisa dibilang, urusan kambing ini malah yang paling “kecil” skala dan dampaknya bagi perekonomian setempat, di antara sekian banyak program ekonomi mereka.

“Kami punya program Bela Beli Kulon Progo,” sebut Hasto memberikan contoh.

Lagi-lagi, bukan semata slogan atau program demi kampanye. Sebagai catatan, Hasto terpilih kembali menjadi bupati untuk periode jabatan kedua dengan dukungan suara 86 persen, meski latar belakangnya adalah dokter dan bukan “aktivis murni” partai politik.

“Sekarang kami punya produk AirKu, per bulan memasok 2 juta gelas air minum dalam kemasan,” sebut Hasto. Jumlah itu menurut Hasto menggerus pangsa pasar perusahaan multinasional yang menjual produk serupa, yang sebelumnya tercatat 6 juta gelas per bulan.

“Kita mulai dari yang kita punya dan bisa. Setelah 1,5 tahun cari solusi, kita punya AirKu itu,” tutur Hasto. 

Gula merah dan “senjata rahasia” Indonesia

Contoh berikutnya adalah beras. Di Kulon Progo, 8.000 pegawai negeri membeli 10 kilogram beras per bulan langsung ke petani. Dinas Pertanian pun mengajari teknik pengemasan kepada petani.

Selain itu, Kulon Progo juga memasok sendiri “beras jatah” untuk masyarakat kurang mampu di wilayahnya.

“Dulu, ‘Pak Bupati, terima kasih berasnya sudah ada lauknya’. Ternyata ada kutunya. Sekarang, sejak 2013, sudah pakai beras daerah (rasda), dengan kualitas jauh lebih baik dari beras sejahtera (rastra),” imbuh Hasto.

Lalu, mulai 2014, Bulog pun tak lagi mengirimkan rastra ke Kulon Progo. Alih-alih, mereka membawa uang untuk membeli beras petani seharga Rp 4,5 miliar per bulan. Dana itu dibayarkan langsung ke petani untuk 4,5 juta kilogram rasda sebagai pengganti rastra di sana.

Ide lain pun terus bergulir di Kulon Progo. Gula kelapa adalah sasaran bidik berikutnya.

“Di Asia, produk yang tak bisa dikarteli adalah gula merah,” ujar Hasto.

Sebelumnya, Hasto mengaku sudah berupaya merekayasa bawang merah tetap saja kalah dari Vietnam. Beras pun kalah telak soal distribusi dan harga dengan Vietnam yang bisa mengirim beras ke Balikpapan, Kalimantan Timur.

Vietnam, ujar Hasto, bisa mengirim beras itu dalam waktu 4 jam. Dari Kulon Progo? Butuh 4 hari. Soal harga, Vietnam bisa memberikan Rp 4.000 per kilogram, sementara dari Kulon Progo Rp 4.500 per kilogram.

Bahkan, bahan untuk pembuatan bayi tabung—profesi super spesialisasi yang ditekuni Hasto—pun dibilang kita kalah telak dari Vietnam. Negara tersebut sudah bisa membuat sendiri bayi tabung menggunakan tenaga dan teknologi lokal.

“Kita banyak kendala-kendala lokal. Kita kalah teknologi dan banyak hal. Kalau hari ini tidak membangun berbasis ideologi, kita bisa makin kalah lagi,” ungkap Hasto.

Keprihatinan nasionalisme kita, ujar Hasto, adalah bagaimana mempraktikkan benar ekonomi kerakyatan. Praktik ekonomi kerakyatan.

“Bagaimana bisa sertifikasi organik dan diakui dunia? Atau, kita sertifikasi sendiri dan kuasai pasar dalam negeri, lalu jaim sedikit dengan negara lain,” usul Hasto.

Sederet produk lokal Kulon Progo yang dihasilkan dan dipakai mulai dari Kulon Progo juga terus berentet. Mereka punya minimarket lokal Tomira alias toko milik rakyat, produk batu lokal untuk beragam pemakaian, juga batik yang melejit pemakaiannya hingga 40.000-an yard per bulan dari sebelumnya 2.000-an yard per bulan.

“(Batik), kalau kalah di teknologi, pakai saja tangan, terus ciprat-ciprat dan kasih nama ‘Batik Ciprat’. Kualitas nanti lah, eksis dulu. Kalau tidak punya teknologi dan lain-lain, perkuat dulu ideologi,” lanjut Hasto.

Praktik dan teori Hatta

Hasto pun menggunakan analogi dari dunia kedokteran sebagai landasan langkah memulai praktik nyata ekonomi kerakyatan sekaligus pengentasan kemiskinan melalui prinsip gotong royong.

Bertebaran dalam buku itu, Hatta menegaskan produksi merupakan tuntutan penting bagi tegaknya kemandirian ekonomi bangsa sebagai bagian dari politik mencapai kemakmuran rakyat. Industrialisasi menjadi kebutuhan yang niscaya, karenanya.

Menurut Hatta, syarat industri ada empat. Yaitu, pekerja, modal, pengorganisasian, dan bahan baku. Keempatnya inilah yang perlu dikelola sebagai usaha bersama untuk menghadirkan kesejahteraan bagi semua yang terlibat di dalamnya.

Nah, Kulon Progo sudah memulai dan menunjukkan bukti bahwa ekonomi kerakyatan bisa menghasilkan dan menyejahterakan. Mau ikuti jejak Kulon Progo?

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/31/212137326/kambing-kurban-kulon-progo-singapura-dan-ekonomi-kerakyatan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke