Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jokowi dan Konsistensi yang Ternoda

Strategi itu, menurut pemerintah, diwujudkan dengan mencabut subsidi BBM jenis premium yang selain kurang produktif juga dinilai tidak tepat sasaran.

Pertanyaannya, benarkah ada pengalihan anggaran? Benarkah ada pencabutan subsidi premium?

Joko Widodo menempati istana ketika harga minyak dunia sedang terjun bebas. Saat ia dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, harga rata-rata minyak mentah sekitar 82,37 dollar AS per barrel, berdasarkan data OPEC.

Tiga bulan kemudian, harga minyak mentah sudah menyentuh level 43 dollar AS per barrel, yang tercatat sebagai kejatuhan harga minyak terparah sepanjang sejarah.

Kondisi itu membuat harga keekonomian premium di dalam negeri juga menurun tajam,  dari sekitar Rp 9.200 per liter menjadi sekitar Rp 6.000 per liter dalam rentang 3 bulan.

Situasi tersebut membuat pemerintah otomatis menurunkan harga premium yang dijual ke masyarakat dari Rp 8.500 per liter menjadi Rp 7.600 per liter, lalu diturunkan lagi menjadi Rp 6.600 per liter pada 18 Januari 2015.

Setelah itu, penurunan harga minyak relatif terbatas, tak lagi setajam periode September 2014 – Januari 2015. Bahkan sejak Februari 2016, harga minyak mulai merangkak naik dan kemudian berfluktuasi hingga saat ini.

Selama periode ini, pemerintah sekali lagi menurunkan harga premium ke level Rp 6.450 per liter yang bertahan hingga saat ini.

Jadi sebenarnya, tidak ada pencabutan subsidi premium mengingat harga keekonomian premium turun otomatis seiring anjloknya harga minyak dunia. Dengan kata lain, subsidi premium hilang dengan sendirinya.

Dengan tidak adanya lagi subsidi premium, apakah lantas ada dana yang tak terpakai, yang kemudian bisa dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur? Jawabannya ternyata tidak ada.

Itu karena sumber dana yang biasa digunakan untuk membiayai subsidi premium juga hilang.

Secara sederhana, anggaran subsidi BBM bisa dibilang diambil dari penerimaan negara dalam bentuk minyak dan gas (migas).

Sebab, besaran subsidi dan penerimaan migas sama-sama dipengaruhi secara langsung oleh harga minyak dunia.

Anggaran subsidi BBM tidak mungkin diambil dari penerimaan pajak atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lainnya mengingat itu sudah habis untuk belanja rutin pemerintah pusat dan daerah.

Sebagai gambaran, saat harga minyak naik,  penerimaan negara dari migas otomatis juga naik. Namun, di saat bersamaan, harga keekonomian BBM juga naik.

Ketimbang menaikkan harga BBM yang berpotensi memicu demo masyarakat dan mendorong inflasi, biasanya pemerintah akan menggunakan dana dari penerimaan migas untuk menambah subsidi sehingga harga BBM tidak perlu dinaikkan. 

Besaran subsidi BBM biasanya mengikuti besarnya penerimaan migas sehingga besaran kedua pos tersebut relatif tidak jauh berbeda setiap tahunnya. 

Jadi sebenarnya, penerimaan migas dan subsidi BBM adalah dua pos yang saling meniadakan dalam anggaran pemerintah.

Pada 2013 misalnya, saat harga minyak mentah mencapai rata-rata 100 dollar AS per barrel, realisasi penerimaan migas juga tinggi, sebesar Rp 203,6 triliun.

Namun di sisi lain, untuk mempertahankan harga BBM tidak naik, subsidi juga harus ditambah sehingga realisasi subsidi mencapai Rp 210 triliun sepanjang 2013.

Begitu pula tahun 2014. Penerimaan negara dari migas naik menjadi Rp 217 triliun. Namun subsidi BBM juga dinaikkan menjadi Rp 240 triliun.

Nah, saat subsidi premium dengan sendirinya hilang pada 2015 seiring turunnya harga keekonomian premium, subsidi BBM juga menyusut drastis hingga hanya Rp 60,8 triliun atau turun 75 persen dibandingkan subsidi BBM tahun 2014 yang sebesar Rp 240 triliun.

Namun, penerimaan negara migas juga anjlok 64 persen dari Rp 217 triliun menjadi Rp 78,4 triliun. Sekadar catatan, sejak 2015, subsidi premium sudah hilang, namun pemerintah masih memberikan subsidi untuk minyak tanah dan solar.

Pada tahun 2016, subsidi BBM turun lagi menjadi Rp 43,7 triliun. Namun, penerimaan migas juga turun menjadi Rp 44,9 triliun.

Jadi, kendati sudah tidak ada subsidi premium, bukan berarti pemerintah memiliki dana tak terpakai yang kemudian bisa dialihkan untuk membangun infrastruktur.

Infrastruktur

Jika tak ada pengalihan anggaran, lalu darimana pemerintah mendapatkan dana cukup besar untuk membangun infrastruktur dalam 3 tahun terakhir ini? Tentu saja, pemerintah mendapatkan dananya dari berutang.

Presiden Jokowi memang menaikkan gila-gilaan anggaran infrastruktur selama masa pemerintahannya. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan menjadi Rp 313 triliun. Pada 2017, dana infrastruktur dinaikkan lagi menjadi  Rp 387,3 triliun.

Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata Rp 150 triliun per tahun, tak sampai setengahnya dari dana infrastruktur rezim Jokowi

Inilah yang menjelaskan mengapa utang pemerintah selama pemerintahan Jokowi membengkak. Pada 2015, pemerintah berutang Rp 318,1 triliun. Selanjutnya pada 2016, pemerintah menambah utang Rp 331 triliun. Pada 2017, utang baru pemerintah akan bertambah lagi menjadi Rp 451,7 triliun.

Jika anggaran utang tersebut terealisasi, maka pada akhir 2017, outstanding utang pemerintah akan mencapai Rp 3.962,86 triliun.

Hingga akhir Mei 2017, utang pemerintah telah mencapai Rp 3.672,33 triliun. Rinciannya Rp 2.163,55 triliun dalam denominasi rupiah dan Rp 780,18 triliun dalam valuta asing (valas).

Dalam kurun 2015 sampai saat ini, pemerintahan Jokowi telah menambah utang baru senilai Rp Rp 1.063,55 triliun.

Penambahan utang selama kurang lebih 2,5 tahun tersebut sudah lebih besar dibandingkan penambahan utang selama periode 2010 – 2014 yang sebesar Rp 932 triliun.

Tak konsisten

Meskipun sebenarnya tak ada pengalihan anggaran dari subsidi ke infrastruktur, awalnya tetap terbaca semangat Jokowi untuk memprioritaskan program yang lebih produktif ketimbang yang kurang produktif.

Namun, memasuki pertengahan 2017, paradoks pun terjadi. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017, subsidi BBM dinaikkan menjadi Rp 44,5 triliun dari Rp 43,7 triliun pada 2016.

Penerimaan negara dari migas sepanjang 2017 diperkirakan juga naik menjadi Rp 72,2 triliun. Itu karena rata-rata harga minyak sepanjang 2017 diprediksi mencapai 48 dollar AS per barrel, lebih tinggi dibandingkan rata-rata harga minyak pada 2016 yang sebesar 40 dollar AS per barrel.

Terlihat paradoks karena pemerintah ternyata menaikkan subsidi BBM sementara komitmen yang digembar-gemborkan sejak awal adalah menghilangkan subsidi premium yang dianggap sebagai anggaran yang kurang produktif.

Pada 2015 dan 2016, pemerintah anggaplah tak mendapat kesempatan untuk menunjukkan keberanian dan kesungguhannya mencabut subsidi premium karena ternyata subsidi sudah bisa hilang dengan sendirinya.

Namun, pada 2017, ketika kesempatan datang seiring naiknya kembali harga minyak, mengapa Jokowi tak menunjukkan komitmennya untuk benar-benar mencabut subsidi premium? 

Memasuki 2017, harga keekonomian premium memang sudah berada di atas harga penetapan pemerintah. Pada Januari 2017 misalnya, berdasarkan data BPH Migas, rata-rata harga keekonomian premium Rp 7.371,5 per liter, sementara harga premium yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 6.450 per liter.

Hingga saat ini, harga keekonomian premium terus berada di atas harga penetapannya. Ini berarti ada subsidi yang harus dibayar pemerintah untuk menutup selisih harga keekonomian dan harga penetapan.

Dengan demikian, pemerintah telah menggunakan sebagian belanja negara untuk anggaran yang tidak produktif yang bernama subsidi premium.

Jika pemerintah konsisten dengan semangat untuk memprioritaskan belanja yang produktif, seharusnya harga premium dinaikkan mengikuti harga keekonomiannya sehingga tak perlu ada subsidi.

Banyak pihak menyebut, pemerintah mulai khawatir dengan kondisi perekonomian dan daya beli masyarakat yang belum sesuai harapan.

Per triwulan II 2017,  pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,01 persen. Angka ini jauh di bawah target pertumbuhan ekonomi 2017 yang dipatok sebesar 5,2 persen.

Daya beli masyarakat juga belum begitu kuat karena hanya tumbuh 4,95 persen per triwulan II 2017, relatif stagnan dibandingkan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya.

Kondisi ini tentu menjadi pertimbangan pemerintah sehingga akhirnya memilih memberikan subsidi premium. Sebab, jika harga premium dinaikkan, maka akan memicu inflasi dan kontraksi pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat juga akan terpukul.

Bahkan pada 2018, berdasarkan RAPBN 2018, subsidi BBM akan ditingkatkan lagi menjadi Rp 51,1 triliun. Ini makin menunjukkan bahwa Jokowi ternyata juga memprioritaskan belanja yang dianggap tidak produktif, yakni subsidi premium.

Tentu saja, pemerintah sebisa mungkin akan menghindari kebijakan-kebijakan yang tidak populer di mata masyarakat pada 2018 hingga menjelang Pilpres 2019. 

Menaikkan harga BBM dikhawatirkan akan menjatuhkan citra pemerintah. Ini justru memperlihatkan kepada masyarakat bahwa Presiden Jokowi lebih mementingkan popularitas lebih ketimbang konsistensi.

Teringat kata-kata yang kerap diucapkan Jokowi untuk meyakinkan masyarakat perlunya pengalihan anggaran dari belanja yang kurang produktif seperti subsidi ke belanja yang lebih produktif seperti pembangunan infrastruktur, “Awalnya memang sakit, tetapi ini harus dilakukan agar perekonomian kita bisa tumbuh lebih cepat ke depan.” 

Utang

Dengan kembali memberikan subsidi, berarti dana  dari penerimaan migas yang pada 2018 ditargetkan sebesar Rp 77,2 triliun tidak bisa sepenuhnya dialihkan untuk pembangunan infrastruktur.

Artinya, dana untuk pembangunan infrastruktur yang dialokasikan sebesar Rp 409 triliun pada 2018 akan diambil dari utang. Inilah yang menjelaskan mengapa pemerintahan Jokowi, berdasarkan RAPBN 2018,  berencana menambah utang baru sebesar Rp 399,2 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu mengatakan, dilihat dari rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), utang pemerintah Indonesia masih terkendali dan bahkan lebih baik dibandingkan banyak negara lainnya.

Memang, tak masalah berutang sepanjang digunakan untuk belanja yang produktif seperti membangun infrastruktur.

Toh Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, akan jauh lebih baik jika dana untuk pembangunan infrastruktur sebagian diambil dari pengalihan anggaran yang kurang produktif seperti yang menjadi strategi Jokowi sejak awal pemerintahannya, namun belum sempat tereksekusi hingga kini.

Terus berutang dalam jumlah besar tidak hanya akan membebani masa depan anak cucu tetapi juga akan membuat struktur APBN menjadi tidak sehat karena beban pembayaran bunga utang terus membesar.

Pada 2013, anggaran APBN yang dialokasikan untuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 113 triliun. Namun pada 2018, berdasarkan RAPBN 2018, alokasi anggaran untuk membayar bunga utang mencapai Rp 247,6 triliun, atau tumbuh 119 persen dibandingkan tahun 2013.

Sementara pada periode yang sama, penerimaan negara hanya tumbuh 30,5 persen dari Rp 1.439 triliun pada 2013 menjadi Rp 1.878 triliun berdasarkan RAPBN 2018.

Jadi sekali lagi, tidak masalah berutang untuk membangun infrastruktur, namun mbok ya jangan terlalu mengandalkan utang dan juga jangan berutang terlalu besar.

Jika ada dana sendiri yang bisa dialihkan, maka itu sebaiknya yang digunakan untuk anggaran infrastruktur. 

Yakinlah, citra pemerintah tak akan jatuh menjelang pilpres 2019, karena masyarakat pasti akan menghargai konsistensi yang tak ternoda dan agenda yang tak terselubung.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/11/060347726/jokowi-dan-konsistensi-yang-ternoda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke