Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masyarakat Berbeda Pendapat Soal Rencana Biaya Top Up Uang Elektronik

Banyak pihak memandang, pengenaan biaya tersebut akan memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang sering menggunakan uang elektronik untuk keperluan sehari-hari, seperti transaksi tol atau transportasi publik.

Pengenaan biaya top up uang elektronik ini sejalan pula dengan elektronifikasi transaksi di seluruh gerbang tol di Indonesia mulai bulan depan.

Lalu, bagaimana tanggapan masyarakat mengenai rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik tersebut? 

(Baca: Apa Kata Masyarakat soal Rencana Biaya Top Up Uang Elektronik?)

Kompas.com mencoba menelusuri pandangan sejumlah warga di sekitar Stasiun Universitas Indonesia (UI).

Salah satu warga yang juga pengguna uang elektronik, Echa, (26), mengatakan tidak masalah bila bank mengenakan biaya top up uang elektronik.

Echa yang bekerja sebagai pegawai swasta di Jakarta ini menggunakan uang elektronik untuk keperluan transportasi serta membeli kebutuhan sehari-hari. Dia melakukan top up di gerao minimarket.

Setiap top up, berapapun besarannya, akan dikenakan biaya Rp 1.000. "Tidak masalah jika ada biaya isi ulang tersebut lantaran besarannya masih kecil," kata dia, Senin (18/9/2017).

(Baca: Mantan) Ketua Perbanas Tak Setuju dengan Biaya "Top Up" Uang Elektronik

Lagipula, lanjut Echa, selama menggunakan uang elektronik tersebut dia belum pernah menemukan permasalahan berarti.

Lain lagi dengan Pay (26), juga pegawai swasta yang berkantor di kawasan Senayan, Jakarta. Dia menggunakan uang elektronik untuk keperluan menumpang kereta rel listrik (KRL) maupun bus TransJakarta.

Pay mengaku hanya mengisi ulang saldo dengan besaran yang tidak terlampau besar tiap bulannya. Sehingga, dia merasa keberatan apabila setiap kali mengisi ulang saldo harus dikenakan biaya.

Pay mengibaratkan biaya isi ulang tersebut seperti membeli tiket untuk dua orang, namun hanya dipakai satu orang. "Kalau pakai biaya kayaknya enggak nyaman deh," ujar Pay.

Salah satu pengguna uang elektronik yang juga merupakan pengguna jalan tol menyatakan keberatannya terhadap adanya biaya top up uang elektronik.

Pasalnya, fasilitas untuk penggunaan uang elektronik serta keamanan dan kenyamanan penggunanya masih belum dijaga oleh pihak bank.

Pengguna ini menceritakan kebingungannya kepada Kompas.com. Berdasarkan pengalamannya berkendara di tol, mesin tapping di sejumlah pintu tol untuk pembayaran non tunai sering error dan kadang tidak mengeluarkan struk.

Dia juga mengeluhkan kualitas kartu untuk uang elektronik yang jelek, sehingga saat akan di top up di bank bersangkutan terjadi kegagalan.

"Teller bank menyarankan saya membeli kartu baru. Padahal, isi saldo di dalamnya masih banyak. Ke mana saya harus mengadu kalau saya mengalami seperti itu," keluhnya.

Tidak Fair

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik rencana pengenaan biaya topup uang elektronik.

Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menilai, secara filosofis, ini justru bertentangan denhan upaya Bank Indonesia (BI) dalam mewujudkan cashless society.

Tulus menyatakan, dengan cashless society, sektor perbankan lebih diuntungkan ketimbang konsumen. Perbankan menerima uang di muka, sementara transaksi atau pembelian belum dilakukan konsumen.

"Sungguh tidak fair (adil) dan pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up," tulis Tulus dalam pernyataan resmi pada akhir pekan lalu.

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/18/151918326/masyarakat-berbeda-pendapat-soal-rencana-biaya-top-up-uang-elektronik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke