Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Perspektif Komunikasi Konsumen, Saat "Lebah" Berhadapan dengan “Gajah”

Saat jenuh bolak-balik nongkrong dan window shopping di mal baru yang melengkapi kawasan superblok itu, saya memutuskan bersujud di sarana ibadah yang luas di basement parkir mal. Turun lift dan menyambung eskalator.

Di sini saya tafakur agar dapat mengusir kejenuhan. Sedikit rasa kecewa merebak, tapi saya segera sadar sebab saya yang butuh, dan mendatangi orang itu. Dalam perspektif komunikasi, saya harus tahu diri sebagai hamba, bukan sebagai terundang untuk berjumpa orang penting itu. 

Azan maghrib pun berkumandang. Merdu, syahdu, dan itulah panggilan kemenangan bagi saya. Dalam hati saya menghitung, lebih tiga jam menunggu, sungguh sia-sia. Tapi…, “Saya yang butuh, saya harus sabar, positive thinking, dan tetap tawakal.”

Nah, sambil menunggu kepastian ia datang di tempat pertemuan yang sudah kami sepakati, saya mengirimkan pesan WhatsApp. Orang itu pun memastikan belum bisa meninggalkan meeting penting.

Padahal ini adalah janji kami ke sekian kalinya. Akhirnya, saya pun membalas untuk pamit sebab masih ada janji dengan mitra usaha lain. Ia mengeluarkan satu jurus maut,”…Maaf!”

Saya pun sibuk dengan urusan pekerjaan lain. Urusan menawarkan pemasaran project sebuah apartemen di Jatinangor Bandung, kepada orang itu terlupa.

Selang lewat sepekan, saya bertanya apakah ia telah membaca penggalan summary bisnis yang saya tawarkan. Sambil berharap ia akan memberi umpan balik, kritik, dan semoga juga solusi, sungguh itu pun tak saya dapatkan.

Padahal ia sangat berpengalaman di bidang marketing property yang saya tawarkan untuk ia dan timnya jajaki ceruk pemasaran di Ibu Kota Jakarta. Saya mafhum, mungkin ia overloading dalam pekerjaan sehingga tak punya sedetik pun waktu untuk memberi respons pertanyaan saya.

Saya yakin, pengalaman tak mengenakkan untuk bertemu seseorang, atau bertemu dengan calon klien, korporasi atau yang mewakilinya, atau pejabat, atau pemilik otoritas tertentu, pernah dirasakan oleh setiap orang. Saya yakin, saya tidak sendiri. 

Kasus kedua

Semua keraguan saya tentang perilaku seseorang yang merepresentasikan sebuah korporasi itu perlahan kian terkikis saat merebaknya kasus yang menimpa property di kawasan perempatan Rawasari, Jakarta Pusat.

Adalah komika Muhadkly alias Acho yang pada akhirnya harus berbenturan secara keras dengan pihak pengelola management building. Kritik dan masukan lewat blog pribadinya, dianggap sebagai pencemaran nama baik oleh pengelola apartemen.

Mungkin, memang benar kritik Acho, tapi fakta yang dibeberkan Acho mendapat respons lain.
Acho hanyalah penghuni yang menyampaikan kekecewaan yang tersumbat, dan itu juga mungkin mewakili perasaan sekian ratus silent majority penghuni apartemen lainnya.

Sebagai komika, Acho terbiasa melancarkan parodi, sarkasme, kritik, dan umpan balik terhadap penonton show secara menggelitik. Seharusnya pula, kalaupun tulisan Acho ada yang keliru, tentulah ada hak jawab pihak yang dirugikan, secara proporsional. Namun problemnya, media tempat ia mencurahkan gagasan bukanlah media massa. 

Di dalam hati, saya dapat menebak ending story, saat kuasa hukum pengembang mengalami “blunder” ketika ia mengajukan case Acho ke polisi. Apalagi respons polisi sangat tanggap dan secara cepat memeriksa, bahkan menjadikan Acho “pesakitan”.

Keluhan dan demo terhadap pengembang, sebenarnya bukan hanya terjadi pada apartemen tempat Acho tinggal. Di kelas studi yang saya hadiri di Panangian School of Property (PSP), sang mentor pernah membeberkan status kepemilikan lahan hunian strategis di apartemen.

Oh, pikir saya dalam hati. Saya tak mendebat lebih jauh, sebab saya memang lagi “minus” untuk berinvestasi properti. Apalagi saya paham, disharmoni antara pengembang, atau management buiding terhadap sejumlah penghuni, seperti benang kusut yang rombeng, atau ibarat comberan dipenuhi kecoa got.

Padahal, pastilah banyak cara guna menyelesaikan keruwetan. Belum tentu membawa kasus ke ranah hukum dapat menentukan kemenangan bagi pihak yang merasa dirugikan.

Benar saja, simpati, dan dukungan penghuni plus netizen bagi perjuangan Acho menderas, bahkan sukar terbendung. Saya paham, sudah sangat lama warga negara Republik tercederai oleh pihak yang lebih berkuasa.

Sedikit saja ada pemicu, membuat simpati publik menderas, massif, bahkan bagai air bah dicurahkan dari langit. Seketika dapat merontokkan wibawa hukum.

Sebab ada rasa keadilan masyarakat yang lama tertindas di dalam ruang publik, terlepas case-nya benar atau salah. Entah ada komando atau tidak, nyatanya simpati terhadap Acho memaksa pihak pelapor kembali ke meja mediasi.

Bila ia pun kasus Acho menjadi kasus hukum, tentu terbuka bagi studi kelayakan. Apalagi bisa jadi yurisprudensi, yaitu sebagai pijakan berdasar keputusan-keputusan dari hakim terdahulu untuk menghadapi suatu perkara yang tidak diatur dalam undang-undang dan dijadikan pedoman bagi para hakim menyelesaikan suatu perkara yang sama.

Korporasi di Tanah Air, sering merasa digdaya saat mereka berhasil mengakumulasi pasar, dan itu memberi berlipat ganda laba ke kantong shareholder perusahaan. Dengan punya segudang uang, lantas merasa segalanya dapat dibeli.

Termasuk melalui program corporate social responsibility, atau bersiasat melalui program public relations yang dibungkus sedemikian rapi. Saya paham, sebab itu juga pekerjaan yang pernah saya lakukan.

Namun bagi saya, meski selalu ada ruang toleransi, tetap saja batasan etika profesi, norma-norma ketimuran sebagai payung kultural, dan common sense dalam tiap tindakan mendapatkan laba, atau honorarium dari sumbangsih pikiran yang saya tumpahkan.

Sayangnya, seringkali CEO (chief executive officer) dan jajaran manajemen di bawahnya abai, bahwa bila produk yang mereka jajakan benar “busuk”, suatu saat pasti akan terbongkar kebusukannya. Sekalipun bungkus atau kemasannya sangat canggih. 

Itu hukum semesta alam (universe), dan rumus yang tak perlu sekolah ke Harvard untuk menginternalisasi di dalam kepribadian seseorang, atau bahkan menjadikannya visi sebuah korporasi, yang mungkin dibayar sangat mahal bila harus mendatangkan sang konsultan dari New York.

Karena itu, sejak awal, korporasi diharapkan bisa menjalankan tatakelola perusahaannya secara baik (good corporate governance).  Jika ada persoalan, masih ada jalan untuk mengelolanya secara baik dan proper. 

Dalam beberapa telaah studi kasus yang saya temukan, jajaran owner maupun CEO terkadang naif, dan arogan. Mengira bahwa konsumen itu tidak cerdas (untuk tidak mengatakan sebagai dungu) dan mudah didikte.

Padahal dunia ini borderless dengan akses internet, dan media sosial bisa sangat digdaya, walau hanya bermula dari bisik-bisik di Twitter, misalnya. Aksi korporasi yang tak sesuai dengan tatakelola perusahaan yang baik, bisa "menyerang" balik. 

Memang, kebanyakan studi kasus antara korporasi kelas “gajah” dengan konsumennya sangat tergantung kepada kasus yang terjadi, situasi mikro maupun makro yang melingkupinya. Tidak bisa apple to apple.

Tapi yang ingin saya katakan, setiap orang, atau korporasi, harus jujur kepada dirinya, stakeholder, konsumen, dan juga kepada orang-orang yang tidak punya kepentingan dengan produk yang mereka luncurkan. Sekali salah langkah lancung, bisa hancur citra dan bisnisnya, meski belum tentu bangkrut secara finansial.

Kasus lain, pembaca mungkin masih ingat kasus Prita Mulyasari yang menghebohkan tahun 2009. Prita selaku konsumen berhadapan dengan manajemen rumah sakit di hunian elite sampai berujung ke pengadilan perdata maupun kasus pidana.

Bahkan berbuah hukuman maupun denda uang bagi Prita. Saya membayangkan pihak rumah sakit sebagai “gajah”, sementara Prita tak ubahnya “lebah” sang penyengat.

Rumus yang sebenarnya ingin saya katakan sederhana. Adalah sumbangan koin (uang) sebagai rasa simpati publik atas derita Prita sebagai pihak yang dipersepsikan “korban”, ibarat “perlawanan lebah yang lemah terhadap sang gajah raksasa”.

Efek viral medsos dan diskusi di milis grup, kian luas hingga menohok efek domino luar biasa terhadap konsumen. Keberpihakan publik meruak lebar terhadap pihak yang dipersepsikan tertindas atau korban, dalam hal ini konsumen, terlepas masalah juridis formalnya.

Upaya legal formal bisa saja pihak “gajah” sang penggugat menang di institusi peradilan, tapi secara moralitas, citra, trust, dan common sense mereka dapat ambruk di titik nadir. Sang “lebah” pun menyengat “gajah”, secara teori “lebah” tak akan menang tapi dapat membuat “gajah” merasa perih akibat sengatan.


Persepsi publik

Dalam sesi diskusi kepada klien atau partner, lazimnya saya selalu yakin dan mengatakan, persepsi negatif publik sangat mahal tebusannya bila Anda ceroboh menyikapi sebuah keluhan pribadi, atau keluhan konsumen. Apalagi bila sebuah kasus melebar, dapat ditarik menjadi seolah-olah masalah ketertindasan publik secara luas.

Jangan sekali-kali Anda bertaruh bagi reputasi produk, perusahaan, atau jasa yang Anda jual kepada khalayak. Anda harus cerdik mematahkan argumentasi pemrotes dengan cara guyon, bersahabat, siasat yang smart, elegan, kreatif.

Bila tepat sasaran malah dapat mengundang simpati khalayak bila kasusnya meluber ke media. Belum tentu kemenangan di ruang sidang pengadilan menjadi kemenangan Anda yang sesungguhnya.

Studi kasus Acho atau Prita, mungkin hanya sebagian kecil contoh persepsi ketertindasan konsumen. Jangan anggap enteng saat sebuah kasus antagonis muncul di ruang publik, apalagi dibumbui persepsi konsumen sebagai pihak teraniaya oleh produsen.

Sangat berbahaya bagi korporasi bila jadi perhatian luar biasa netizen maupun warga negara di Republik ini. Kasus kecil dapat menciptakan persepsi negatif dan membuat korporasi kedodoran, bahkan tak berdaya secara moral menghadapi serangan opini maupun trust dari publik.

Kisah nenek Asyani yang dituduh mengambil kayu dari lahan Perhutani tahun 2015, dan berujung di pengadilan, adalah contoh lain bahwa dunia korporasi ingin menunjukkan watak kuasanya. Tapi yang terjadi kemudian malah “senjata makan tuan” akibat sengatan “lebah” terhadap sang “gajah”, jauh dari perhitungan semula.

Jangan keliru, tingkat kecerdasan publik kini meluas, dan angkatan muda generasi milenial bertumbuh pesat, apalagi mereka tergolong smart dalam membangun persepsi publik sebagai konsumen yang lemah.

“Sadarlah, Anda maupun korporasi Anda tidak akan mampu melawan keroyokan media sosial, media konvensional seperti surat kabar, televisi, apalagi kedigdayaan platform digital. Anda benar sekalipun dapat berubah arah menjadi "pesakitan" di mata publik.

Seharusnya, studi kita dapat mengambil pelajaran dari apa yang secara tangkas dilakukan oleh Freeport saat terjadi insiden antara anggota DPR Mukhtar Tompo dengan Presdir PT Freeport Indonesia, Chappy Hakim, Februari 2017.

Dalam hati saya menakar, induk manajemen puncak Freeport sudah berhitung, mereka akan rugi besar secara bisnis maupun moral hazard bila terus berkonflik di ruang publik, dan Chappy Hakim hanya sebagai lobang sasaran tembak sementara.

Ending story sudah dapat ditebak, Chappy Hakim mengundurkan diri secara terhormat. Cara Freeport “memadamkan api” sebenarnya langkah sederhana tapi tangkas, jitu, smart, dan “muka” sang marsekal pun terselamatkan. 

Kembali pada studi kasus yang dihadapi Acho dan pengembang, saya selalu berupaya mewanti-wanti klien atau partner agar paham kohesi sosial, kultur masyarakat, psikologi sosial konsumen. Kredo media “bad news is a good news” dapat jadi bumerang bagi korporasi saat menghadapi konsumennya.

Bahwa jagat raya ini borderless world, dan jangan sampai korporasi “teledor” saat menyadari suatu ancaman sekecil apapun awalnya.

Dalam beberapa FGD (focus group discussion) sebagai suatu proses pengumpulan informasi suatu masalah tertentu yang spesifik melalui diskusi kelompok, saya pernah mengemukakan pendapat.

Bahwa organisasi korporasi, apalagi yang berambisi “menjajah” lewat cara kapitalisme brutal, harus cermat berhitung soal mendapatkan untung besar dalam waktu seringkas-ringkasnya.

Awas, bila Anda abai terhadap konsumen yang mungkin dulu awalnya takluk oleh bujuk rayu sangat mesra, dan iklan berhalaman-halaman di surat kabar maupun campaign di televisi, sebuah jebakan di luar logika nalar akal manusia dapat meruntuhkan kedigdayaan.

Jebakannya bisa dari kemunculan masalah yang tidak ada dalam framing manajemen, atau bahkan di luar textbook.

Memang, dalam studi pemasaran, letak seonggok properti, yang selalu diajarkan mentor-mentor saya di PSP bahwa: lokasi, lokasi, lokasi, sangat menentukan aura kesuksesan sebuah project—apakah mal, apartemen, atau landed house.

Namun, sesungguhnya banyak syarat penunjang lainnya agar benar-benar project sukses dan selamat lahir-batin, termasuk dalam hal memperlakukan konsumen sebagai human being.

Sebenarnya, hal lain yang ingin saya katakan, setiap pengembang juga harus paham historical place suatu kawasan yang akan mereka bangun agar terhindar dari masalah demi masalah di kemudian hari.

Sebab bila benar terjadi masalah pastilah menguras sia-sia energi positif. Filosofi: lokasi, lokasi, lokasi, boleh jadi benar, tapi jasad atau fisik lahan dari lokasi itu juga harus bersih, genuine, dan tidak malah menarik aura negatif ke dalam jasad dirinya. 

Kalau bukan lantaran suatu alasan, kenapa pula penganut kepercayaan tertentu harus melakukan ritual saat memindahkan setapak kuburan yang hendak mereka bangun jadi sebuah project baru.

Tentulah banyak alasan, filosofi, kebijaksanaan, pemahaman menyeluruh di belakangnya, dan tidak cukup hanya rasionalitas dalam matematika angka. Om Liem, Om Wiliam, Pak Ciputra, dan sejumlah konglomerat lain bahkan mendatangkan ahli hong shui dari negeri timur jauh untuk memastikan lokasi yang akan mereka bangun, benar-benar prospektif dan bawa hoki.

Pak Chairul Tanjung juga menerapkan filosofi angka yang secara logika terasa ganjil, misalnya newsroom Transtv yang berada di lantai 3 kemudian pindah ke lantai 4 tapi ditulis 3A. Di banyak office buiding di Jakarta, lantai 13 itu berganti nomor 14. Tentu ada alasan maupun persepsi yang melatarbelakanginya.

Saatnya pula saya tarik maju ke kisah awal tulisan ini. Saya pun makin paham, orang yang ingin saya temui, dan “cedera janji” saya temui walau ia memakai senjata “maaf”, mungkin menganggap dirinya superioritas di hadapan pihak lain. Bisa jadi corporate good governance belum berjalan seharusnya di sana. 

https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/18/155526026/perspektif-komunikasi-konsumen-saat-lebah-berhadapan-dengan-gajah

Terkini Lainnya

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke